Liputan6.com, Jakarta - Total 14 WNI korban kasus pengantin pesanan (mail-order brides) telah tiba dengan selamat pada Senin, 2 September 2019 di Jakarta.
Para WNI tersebut berhasil dipulangkan dari Tiongkok melalui pendampingan KBRI Beijing. Para korban berasal dari DKI Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan Barat, demikian seperti dikutip dari rilis resmi Kementerian Luar Negeri RI, Selasa (3/9/2019).
Baca Juga
Advertisement
Kasus pengantin pesanan marak terjadi melalui perantaraan agen perjodohan. Permasalahan muncul ketika agen perjodohan menggunakan modus penipuan untuk meyakinkan para pasangan.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri RI, Retno L.P. Marsudi telah mengangkat isu ini dalam pertemuan bilateral dengan Menteri Luar Negeri China pada tanggal 30 Juli 2019.
Dalam pertemuan tersebut, Menlu RI meminta bantuan Pemerintah Tiongkok agar kasus korban "pengantin pesanan" dapat diselesaikan dan bersama-sama dapat dicegah di masa mendatang.
Apresiasi kepada Pemerintah China yang telah menanggapi permintaan kerja sama tersebut secara positif.
Ke-14 WNI korban pengantin pesanan diterima oleh Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler, Andri Hadi di Kantor Kemlu RI dan selanjutnya diserahterimakan kepada Bareskrim Polri dan Kementerian Sosial untuk penanganan lebih lanjut di dalam negeri.
"Proses pemulangan ini adalah wujud kehadiran negara dalam pelindungan warganya sekaligus buah kerja sama yang erat dari berbagai pihak," ujar Andri Hadi dalam sambutan penerimaannya.
Diimbau pula agar para WNI lebih berhati-hati dalam melakukan pernikahan dengan warga asing. Mengenal calon pasangan terlebih dahulu, tidak terbujuk rayu janji ekonomi dan mengikuti prosedur pernikahan dengan benar merupakan langkah pencegahan yang paling efektif.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Kawin Pesanan Ala China, Modus Dagang Orang Bermahar Jutaan?
Sebut saja namanya IP, asal Mempawah, Kalimantan Barat. Usianya 14 tahun, masih 'bau kencur'. Tapi, semuda itu, ia sudah janda.
IP menikah pada usia 13 tahun, saat ia masih lugu dan suka main lompat tali. Kala itu, kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan memaksanya putus sekolah sampai kelas 2 SD. Asal bisa baca tulis, sudah dianggap bagus.
Tak lagi makan bangku sekolahan, IP berpindah ke ladang. Membantu orangtuanya bertanam jagung. Belakangan, ia bekerja di warung kopi milik kerabat.
Sehari-hari ia menjadi pelayan, menyeduh kopi sasetan pesanan pelanggan. Sebuah pekerjaan mulia bagi perempuan kecil yang bercita-cita sederhana. Bagaimanapun, IP senang. Ia bisa dapat upah.
Suatu hari, pertengahan tahun 2018, ponsel milik IP berdering. Kala itu ia sedang mengaduk kopi pesanan. Kawan sang juragan yang menelepon. Inisialnya M. Mereka sempat bertukar kontak di sebuah acara pengajian.
Advertisement