Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif menegaskan, pemberantasan tindak pidana korupsi tak lepas dari operasi tangkap tangan (OTT). Menurut Syarif, selain pencegahan, penindakan seperti operasi senyap harus dilakukan untuk meminimalisir terjadinya suap.
"Menurut kami masih dibutuhkan, karena aparat penegak hukum tidak boleh membiarkan terjadi ada kejahatan. Aneh itu kalau misal ada polisi, kalau ada kejahatan diamkan saja nggak ditangkap," ujar Syarif di Gedung KPK, Selasa, 3 September 2019.
Advertisement
Serupa dengan penangkapan pelaku kejahatan lainnya, korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa tak bisa dibiarkan begitu saja. Laode menegaskan, pencegahan yang lebih efektif adalah penindakan.
"Ini tetap dibutuhkan, dan terus terang teman di Hong Kong, ini salah satu gurunya KPK, di Hong Kong itu mereka bilang pencegahan yang paling efektif adalah penindakan yang konsisten," kata Syarif.
Syarif yang gagal mencalonkan diri menjadi pimpinan KPK periode 2019-2023 ini jelas tak setuju dengan calon pimpinan (capim) KPK yang menyebut bahwa OTT adalah hal yang sia-sia.
"Karena tujuan hukum itu penjeraan, ahar jera, tapi tidak berarti pencegahan itu tidak dilakukan. Jadi kalau kami (pimpinan KPK periode 2015-2019) yang sekarang, keseimbangan antara pencegahan dan penindakan harus sama," kata dia.
Pentingnya OTT dilakukan juga disampaikan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan. Menurut Basaria, jika upaya pencegahan yang dilakukan pihaknya tak didengar oleh penyelenggara negara, maka OTT harus dilakukan.
"Kami pimpinan KPK ini rasanya kelililing ke daerah-daerah itu bukan penindakan, tapi pencegahan dan peringatan. Justru kami sangat sedikit melalukan OTT dibanding yang kita ingatkan," kata Basaria.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Pernyataan Capim KPK
Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) Roby Arya Brata menyebut operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan tim penindakan KPK tak menghasilkan apapun. Menurut dia, hal itu terbukti dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang stagnan.
"Saya akan evaluasi penindakan di KPKF. Bahwa OTT itu tidak menghasilkan apa-apa, buktinya IPK kita stagnan hanya 37, kurang ada impact (dampak)," ujar Roby saat uji publik Capim KPK di Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Kamis (29/8/2019).
Sekretariat Kabinet sebagai Asisten Deputi Bidang Ekonomi Makro, Penanaman Modal, dan Badan Usaha pada Kedeputian Bidang Perekonomian ini menyebut dengan maraknya OTT yang dilakukan KPK menjadikan kepala daerah takut dalam menggunakan APBD.
"Seharusnya KPK lebih banyak bergerak, jangan hanya menangkapi orang lalu kemudian menjadikan pemerintahan ini tidak bekerja. Itu faktanya, Rp 207 juta triliun di daerah tidak digunakan karena kepala daerah ketakutan, takut ditangkap KPK. Apakah ini yang kita inginkan? Tidak sama sekali," kata dia.
Roby mengatakan, visi lembaga yang kini dipimpin Agus Rahardjo keliru dengan banyaknya operasi senyap. Dia mengatakan, jika nantinya berhasil menjadi pimpinan KPK jilid V periode 2019-2023, dia akan mengubah visi KPK.
"Dia (KPK) bilang visinya Indonesia bebas dari korupsi. Saya kira itu keliru, nanti kalau saya di dalam akan saya rubah. Visi KPK adalah mewujudkan pemerintahan yang efektif dengan cara mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi," kata dia.
Roby yang dua kali gagal menduduki jabatan struktural di KPK ini ingin menjadikan KPK lebih bermanfaat. Tentunya jika dia terpilih menjadi pimpinan KPK.
"Saya ingin buat KPK ini lebih bermanfaat untuk negara ini. Jangan karena alasan independen dia enggak mau bekerjasama dengan pemerintah," kata Roby.
Advertisement