Liputan6.com, London - Seorang peneliti Inggris melakukan riset terhadap Anak Krakatau yang meletus pada 22 Desember 2018. Gunung berapi yang berada di Selat Sunda ini kembali dilaporkan erupsi oleh situs Volcano Discovery pada 26 Agustus 2019.
Rebecca Williams dari Hull University dan rekan-rekannya, memeriksa gambar radar satelit yang diambil oleh Sentinel-1a milik European Space Agency (ESA), pada saat sebelum, selama, dan setelah aktivitas vulkanik Anak Krakatau yang memicu runtuhnya lereng.
Advertisement
Data radar tersebut merupakan pusat analisis bagi ahli vulkanologi, karena teknik penginderaan jauh itu dapat mendeteksi permukaan tanah, bahkan ketika gelap, ditutupi oleh awan atau --seperti dalam kasus letusan Anak Krakatau-- dikaburkan oleh abu.
Studi ini menyimpulkan bahwa volume material yang tergelincir ke dalam air laut sebenarnya relatif kecil atau sedikit. Namun, material itu mampu memicu gelombang destruktif di sekitar Selat Sunda.
Gambar yang digunakan dalam penelitian Dr Williams berasal dari tangkapan Sentinel-1a, ketika satelit ini melewati Anak Krakatau, delapan jam setelah lereng sisi barat gunung longsor.
Potret tersebut membantu dia dan timnya untuk mendapatkan perhitungan akurat tentang volume material yang hilang saat longsor. Jumlah material yang diperkirakan lenyap adalah 0,1 km kubik, sepertiga dari volume yang sebelumnya diprediksi oleh para ilmuwan akan menghasilkan tsunami besar.
Pada 2012, mereka pernah memodelkan peristiwa alam yang mungkin terjadi jika lereng barat Anak Krakatau ambrol. Bahkan, mereka juga menghitung tinggi dan waktu kedatangan gelombang tsunami di garis pantai terdekat.
Proyeksi ini ternyata tepat. Akan tetapi, mereka menduga massa material yang menghasilkan tsunami adalah 0,3 km cu. "Pasti ada beberapa kesalahan dalam detail, tetapi kami yakin, hanya sebagian kecil dari material yang runtuh yang bisa menghasilkan tsunami," jelas Dr Williams seperti dikutip dari BBC, Rabu (4/9/2019).
"Perubahan geomorfologis (bentuk) dramatis yang kami saksikan, yang dirilis beberapa hari kemudian dalam citra satelit, disebabkan oleh letusan eksplosif, bukan peristiwa awal tanah longsor," katanya lagi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bagaimana Anak Krakatau Dimodelkan Ulang?
Perubahan yang telah dijelaskan di atas mengacu pada hilangnya puncak Anak Krakatau. Kerucut dan kawah masih terlihat dan utuh dalam gambar Sentinel. Namun, keduanya kemudian menghilang pada hari-hari berikutnya.
Dr Williams sekarang menduga, longsornya lereng mungkin telah mengatur ulang keaktifan Anak Krakatau, membuka lubang baru yang membawa magma langsung ke air laut.
Peristiwa tersebut akan memunculkan aktivitas phreatomagmatic, seperti yang terlihat dalam gambar di bawah ini, yang diambil dari pesawat terbang yang melayang di sekitar Anak Krakatau pada akhir Desember.
"Peristiwa yang terlihat dalam foto-foto itu sangat khas, terjadi akibat ledakan gunung di laut. Letusan inilah yang menghilangkan puncak gunung," jelas Dr. William.
Selama beberapa minggu berikutnya, ketika gunung berapi mulai tumbuh lagi, air laut akhirnya berhenti masuk ke sistem magmatik dan Anak Krakatau kembali normal.
Dia memperkirakan ada sekitar 40 gunung berapi di seluruh dunia yang terletak dekat dengan laut, yang dapat menimbulkan bahaya serupa dengan Anak Krakatau.
Penelitian Dr Williams ini telah diterbitkan dalam jurnal Geology.
Advertisement