Sejarah Balai Pemuda Surabaya: Simpang Siur Sejarah Tragis (2)

Ternyata Balai Pemuda Surabaya, yang dulu disebut Simpang Club, banyak menyimpan kisah kelam yang tak banyak orang tahu. Berikut ini adalah rangkumannya.

oleh Liputan Enam diperbarui 06 Sep 2019, 06:05 WIB
Ilustrasi Pembunuhan dengan Senjata Tajam (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Di samping Gedung Balai Pemuda Surabaya atau dulu disebut “Simpang Club”, menjadi tempat hura-hura eksklusif untuk kelas “atas”, ternyata gedung ini menyimpan sisi kelam yang tak banyak orang tahu.

Merangkum dari buku "Surabaya: Di mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu?” karya Ady Setyawan, pada masa revolusi 45, gedung ini pernah menjadi tempat pembunuhan untuk orang-orang yang dianggap pro Belanda oleh PRI (Pemuda Republik Indonesia) cabang Simpang, di bawah pimpinan Soemarsono. PRI menempati gedung ini sejak 04 Oktober 1945.

Dalam memoar milik M.Jasin, Komandan Polisi Istimewa dikatakan suatu kali markas Polisi Republik Indonesia mendapat informasi tentang terjadinya tindakan teror di markas PRI pimpinan Soemarsono. Teror itu dilakukan pada tahanan yang difitnah oleh anggota Intel PRI sendiri.

Setelah diselidiki, pimpinan Pasukan Polisi Istimewa memutuskan untuk menyerbu markas PRI Jalan Pemuda Surabaya dan melucuti senjatanya. Namun, fungsionaris dari intel PRI menyatakan kesanggupannya untuk menyampaikan peringatan dari Pasukan Polisi Istimewa. Ia mengaku bertanggung jawab agar tindakan terror tidak akan terjadi. Akhirnya polisi pun membatalkan penyerbuannya.

Cerita Saksi

Dalam Arsip Nasional Belanda di Den Haag, terdapat dokumen kesaksian dari seorang wanita bernama Ny. Leonore Sinsu Andries. Dalam kesaksiannya, ia mengaku salah satu tawanan yang melihat penyiksaan yang terjadi di Simpang Club.

Diceritakan, pada 22 Oktober 1945 jam 08:30, Ia dibawa oleh PRI ke gedung Simpang Club atas tuduhan pemuda Abdullah atas kepemilikan bendera Belanda. Sesampainya di sana, Leonore bersama tawanan lain harus terus menundukkan kepala. Melihat sekeliling adalah larangan keras dan dapat berakhir dengan kematian. Setelah itu, menurut kesaksiannya, tawanan diinterogasi oleh Rustam dan Sutomo, bagian propaganda PRI.

Mereka yang dinyatakan bersalah diberi tulisan “Moesoeh” dan divonis mati. Namun sebelum divonis, mereka terlebih dahulu harus melihat bagaimana tawanan lain dieksekusi di lantai dansa bagian taman gedung Simpang Club Surabaya.

Dalam arsip ini, Ny. Leonore menceritakan kejadian demi kejadian eksekusi yang ia saksikan dengan mata kepalanya. Setelah dilecehkan secara brutal, korban diminta untuk tengkurap di atas lantai yang tingginya 10 cm. Lehernya tepat di tepian lantai dengan wajah menghadap ke atas membuat leher tawanan menegang.

Lalu dengan satu sabetan pedang Jepang, Rustam si algojo memenggal kepala tawanan. "Saya tidak bisa menyebutkan pasti berapa jumlah korban, tapi saya yakin mencapai ratusan," ucap Ny Leonore dalam arsipnya.

Sedangkan untuk tawanan yang masih “keras kepala”, setelah disiksa mereka diangkut ke atas truk dengan badan penuh luka. Kelompok itu terdiri dari berbagai macam kebangsaan. Sebagian besar dari mereka adalah orang Eropa asli atau Indo Belanda.

Leonore juga sempat melihat dua tubuh mayat wanita telanjang saat ia melihat sekeliling gedung. Mayat itu bertumpukan di sisi pintu dengan tali tergantung sepanjang satu meter. Dari bagian belakang gedung, ia juga melihat tiga wanita ditusuk bambu runcing. Menurut pendengaran Leonore, tiga wanita itu dihukum karena dituduh bekerjasama dengan Jepang. Tubuh wanita ini kemudian dibuang ke Kalimas.

Untuk keputusan Leonore sendiri, akhirnya ia diperbolehkan pulang karena mereka tidak bisa membuktikan Leonore bersalah. Sebelumnya dia sempat diinterogasi oleh Soetomo, lalu dipindahkan ke PRI Jalan Sulawesi untuk diinvestigasi oleh orang Manado dan orang Ambon.

Dalam kesaksiannya Leonore mengatakan, “Neraka mungkin tidak lebih mengerikan daripada apa yang terjadi di Simpang Club hari itu”.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Saksi dari Persidangan

Ilustrasi palu hakim pengadilan. (Sumber Pixabay)

Dalam harian Belanda Niuewe Courant, 23 Oktober 1949, terdapat artikel tentang persidangan mengenai pembantaian Klub Simpang. Artikel itu memuat cerita dari berbagai saksi dari pembantaian itu.

Salah satu saksi bernama Catoir, bersaksiterdakwa melakukan kekejian dengan tampak menikmati saat melakukannya. Saksi juga menyatakan bahwa tanggal 15 Oktober adalah tanggal dimulainya pembunuhan itu. Ketika hakim menanyakan tentang keberadaan Sutomo, Catoir menjawab hanya melihat Soetomo berdiri, sambil berteriak dengan semangat dan antusias.

Ia bersaksi pernah melihat Saimoen lebih dari sekali. Atasan langsungnya adalah Kapten Soewolo. Catoir mengungkapkan, Roestam adalah rekan dari terdakwa. Roestam, Ia saksikan, membunuh banyak orang dengan pedang samurai.

Catoir mengingat jelas ketika mereka berteriak “Kakoes”. “Kakoes” ini mengartikan eksekusi mati dilakukan di kamar mandi. Ia juga bercerita mengenai Tuan Bel yang disiksa memakai badge dengan bertuliskan “Belanda akan kembali berkuasa”. Banyak saksi yang dihadirkan dalam persidangan juga mengingat peristiwa teriakan “Kakoes”.

Terdapat banyak cerita kesaksian lain yan dimuat dalam artikel ini. Mereka masing-masing menceritakan kisahnya saat ada di Simpang Club.

Sebelumnya, pengadilan ini diawali dengan pembacaan penuntut militer, Tuan Van Koot. Ia menjelaskan kasus ini dengan perasaan risih. Menurutnya, tak ada orang normal yang mampu melakukan tindakan keji di luar batas atas nama Nasionalisme. Sebagian korban pembunuhannya pun adalah kaum Eropa, di mana mereka selalu menjadi target kebencian dari kaum ekstrimis.

Setelah itu, satu persatu dugaan fakta dibahas. Walau tak ada barang bukti, dari indikasi-indikasi yang ada menguatkan terdakwa memang bersalah. Meski nantinya hukuman ini mengarah pada kriminal politik, sosok Saimoen adalah pribadi yang memiliki kebencian luar biasa terhadap kaum Eropa.

Akhirnya, dari berita pendek yang dimuat di surat kabar Het Dagblag (04 Maret 1949) dikabarkan Saimoen diberi hukuman mati oleh Pengadilan Militer. Hukuman mati tersebut atas keterlibatan dalam kasus pembunuhan yang terjadi di Klub Simpang selama masa periode Bersiap.


Kejanggalan Cerita dari Sisi Belanda

Ilustrasi vonis hakim, Foto: Istimewa

Menurut sumber Belanda, nama Soetomo disebut-sebut sebagai pimpinan atau tokoh di balik pembantaian di Simpangsche Societeit. Masih dari buku karya Ady Setiawan, ada beberapa hal yang harus dicermati akan kebenaran mengenai Soetomo tersebut:

1. Awalnya Soetomo memang bergabung dengan PRI dan bekerja di bagian penerangan. Namun, Soetomo rupanya merasa tidak sejalan dengan PRI, organisasi yang dipimpin Soemarsono ini.

2. Menghimpun dari beberapa sumber, salah satunya Barlan Setiadidjaja, mengatakan bahwa Soetomo mendirikan organisasi BPRI pada 12 Oktober 1945. Sedangkan pembunuhan di Simpang, terjadi mulai 15 Oktober 1945. Hal ini menunjukkan, Soetomo sudah tidak lagi menjadi anggota PRI. Sumber lain juga mengatakan Soetomo telah membangun BPRI pada 13 Oktober bersama lima orang lainnya.

3. BPRI dibentuk setelah PRI tumbuh menjadi kekuatan lascar yang cukup besar. Bisa jadi, keadaan ini memunculkan ketidaksukaan anggota PRI kepada Soetomo. Dalam memoar milik Soetomo dikatakan, Ia pernah diculik ke Balai Pemuda oleh PRI Simpang yang dipimpin oleh Soemarsono. Ia juga dihadapkan kepada Rustam. Hal ini menjadi kejanggalan saat ada kesaksian Soetomo memberi perintah dalam gedung markas PRI.

4. Mengenai kesaksian Nyonya Leonore Sinsu Andries, menjadi sebuah kejanggalan saat ia tidak mengenali wajah Soetomo. Hal ini mengingat mereka hidup bertetangga kampung yang hanya berjarak ratusan meter. Juga sosok Soetomo yang merupakan orang Indonesia yang mencapai “Pandu Garuda” di dunia Kepanduan dalam masa pendudukan Belanda.

Selain itu, saat Ny Leonore menceritakan kisahnya dibiarkan bebas berjalan-jalan melihat sekeliling tanpa kawalan, terasa kontradiktif dengan situasi yang sebelumnya Ia gambarkan.

5. Bagaimana orang bisa yakin bahwa yang mereka lihat adalah Soetomo? Sulistami, yang kemudian dinikahi oleh Soetmo pasca pertempuran saja tidak mengenali Soetomo saat pertama kali bertemu di Pertempuran 10 November 1945.

Ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan untuk bisa menuduh Soetomo sebagai salah satu aktor dalam peristiwa pembunuhan itu. Salah satunya terkait dengan aksi penculikan terhadap Bung Tomo.

Selain itu, PRI juga tidak bisa langsung ditetapkan sebagai organisasi laskar yang pendendam dan haus darah. PRI adalah kelompok laskar perjuangan yang besar, yang disebut-sebut memiliki jumlah anggota lebih dari TKR reguler. Penilaian terhadap PRI tidak bisa hanya dilihat dari satu kejadian di Simpangsche Societeit saja.

Kini Balai Pemuda terus dibuka dan beberapa kali beralih fungsi. Terkait dengan kasus pembantaian ini, pada Desember 2016, saat penggalian basement Balai Pemuda kedalaman tujuh meter, ditemukan dua tengkorak manusia. Keduanya hanya bagian kepala saja, tanpa ada kerangka badan.

 

 

(Kezia Priscilla, mahasiswi UMN)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya