Holding BUMN Mampu Wujudkan Kedaulatan Pangan

Dengan pembentukan holding BUMN Pangan, pemerintah akan lebih bisa menjamin ketersediaan berbagai komoditas pangan untuk rakyat.

oleh Arthur Gideon diperbarui 04 Sep 2019, 20:55 WIB
Petani menyelamatkan tanaman padinya dari kegagalan panen akibat musim kemarau di Ridogalih, Cibarusah, Bekasi, Minggu (7/7/2019). Ratusan hektare sawah gagal panen di wilayah Bekasi hingga membuat para petani merugi sampai miliaran rupiah. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Pembentukan induk usaha (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) khusus pangan merupakan hal mendesak yang harus menjadi perhatian pemerintahan Jokowi – Ma’ruf Amin pada periode 2019-2024. Masalah pangan ini tak hanya menjadi persoalan ekonomi yang muncul setiap tahun, bahkan acap menjadi isu politik di masyarakat.

“Ketika ada masalah kelangkaan pangan, pemerintah kesulitan menugaskan BUMN karena sudah diambil alih oleh swasta atau asing. Kewenangan yang diberikan ke BUMN pun bersifat terbatas,” kata Direktur Utama PT Berdikari, Eko Taufik Wibowo, dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (4/9/2019).

Menurut Eko, dengan pembentukan holding BUMN Pangan, pemerintah akan lebih bisa menjamin ketersediaan berbagai komoditas pangan untuk rakyatnya. Dengan menggabungkan beberapa BUMN yang selama ini bertugas memasok pasar dengan beragam komoditas pangan, Eko yakin rantai pasok mulai dari hulu hingga ke hilir akan lebih bisa diandalkan.

Sehari sebelumnya, dalam acara Focus Group Discussin (FGD) yang diselenggarakan Masyarakat Profesional untuk Demokrasi (MPD), Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso menyajikan berbagai data yang menunjukkan masalah pangan ini memang merupakan hal yang krusial.

Data yang disampaikan kementerian pun sering berbeda dengan data yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) atau data hasil citra satelit. “Data produksi padi, misalnya, bisa ada gap lebar antara BPS atau citra satelit dengan data kementerian,” paparnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Anggaran

Petani memisahkan bulir padi dari tangkainya saat panen di sawah yang terletak di belakang PLTU Labuan, Pandeglang, Banten, Minggu (4/8/2019). Kurangnya pasokan beras dari petani akibat musim kemarau menyebabkan harga gabah naik. (merdeka.com/Arie Basuki)

Menurut Andreas, sepanjang 2004 - 2014, terdapat berbagai program pemerintah seperti subsidi benih dan pupuk, selain program swasembada beras, jagung, kedelai, dan gula. Namun pada saat yang sama, anggaran untuk pertanian dan pangan pun meningkat sebesar 611 persen.

Meski anggaran meningkat, jumlah rumah tangga petani justru menurun. Ini terjadi karena impor pangan juga meningkat, sehingga tidak menguntungkan petani. Impor pangan, terutama pada delapan jenis komoditas (beras, jagung, gandum, kedelai, gula tebu, ubi kayu, bawang putih dan kacang tanah), bahkan sudah mencapai 27,62 juta ton pada 2018.

“Kalau ditambah garam sebesar 3 juta ton maka total impor pangan kita sudah mencapai 30 juta ton. Jika ini dibagi 20 persen saja untuk BUMN, maka kinerja BUMN kita akan sehat,” ujar Andreas.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya