Diam-Diam, DPR Siapkan Revisi UU KPK

Sementara, KPK mengaku belum mengetahui rencana DPR untuk merevisi UU KPK.

oleh Andrie Harianto diperbarui 05 Sep 2019, 08:25 WIB
Suasana Rapat Paripurna ke-6 DPR masa persidangan I tahun sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/9/2019). DPR dijadwalkan mengesahkan dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yaitu RUU Sumber Daya Air (SDA) dan RUU Pekerja Sosial. (Liputan6.com/JohanTallo)
Suasana Rapat Paripurna ke-6 DPR masa persidangan I tahun sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/9/2019). DPR dijadwalkan mengesahkan dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yaitu RUU Sumber Daya Air (SDA) dan RUU Pekerja Sosial. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana kembali merivisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU KPK). Rencana revisi ini terakhir digulirkan pada 2017, karena banyak penolakan dari masyarakat akhirnya rencana itu dibatalkan.

Kini, DPR memulai lagi wacana pembahasan RUU KPK lewat Badan Legislasi (Baleg). Tanpa diketahui kapan pembahasannya, Baleg tiba-tiba berencana membawa RUU KPK untuk disahkan menjadi pembahasan RUU usul DPR lewat rapat paripurna hari ini, Kamis (5/9/2019).

Dalam rapat paripurna itu rencananya Ketua Baleg Supratman Andi Agtas akan membacakan usulan Revisi UU KPK untuk dibahas berdasarkan inisiatif DPR di depan semua fraksi. Setelah membacakan usulan, setiap fraksi juga akan didengar pendapatnya soal rencana revisi tersebut.

Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengatakan usulan revisi itu sudah ada Baleg DPR sejak 2017. Kala itu, kata dia, DPR dan pemerintah sudah sepakat untuk merevisi UU tersebut.

"Ya itu kan sudah, kasusnya kan sudah lama itu ada di Baleg. Dan pemerintah dan DPR kan sudah, 2017 lalu ya itu sudah menyepakati empat hal untuk dilakukan revisi terbatas terhadap UU KPK itu," kata Masinton di Jakarta, Rabu (4/9/2019).

Poin pasal-pasal yang akan direvisi juga tidak jauh beda dengan yang pernah diusulkan pada 2017 lalu. Mulai dari mekanisme penyadapan, posisi lembaga KPK sebagai eksekutif, adanya Dewan Kehormatan KPK, kewenangan untuk memberikan SP3, serta kepegawaian KPK yang nantinya akan disebut PNS.

Masinton menegaskan, UU tersebut memang sudah waktunya direvisi karena sudah 17 tahun berlaku. Sehingga perlu ada pembaharuan mengikuti perkembangan zaman.

"Apakah ini masih kompatibel sesuai dengan perkembangan zaman, kan gitu. Kita kan ingin penegakan hukum itu ke depan memiliki suatu kepastian, keadilan dan kemanfaatan," ucapnya.

Kendati masih menimbulkan pro kontra, di masyarakat, Masinton yakin dalam rapat paripurna hari ini seluruh fraksi akan setuju untuk melakukan revisi. Pasalnya, sebelum dibawa ke rapat paripurna, revisi tersebut sudah disepakati seluruh fraksi DPR melalui pembahasan di Baleg.

"Iya, itu kan tentu sudah menjadi kesepakatan di Baleg kan," tuturnya.

Politikus PDI Perjuangan ini berharap pembahasan revisi ini bisa rampung sebelum akhir tahun. Jika sesuai target, maka pimpinan KPK yang baru nantinya akan bekerja menggunakan UU baru.

"Bahwa dibahas sekarang, kan bertepatan juga dengan adanya pimpinan KPK yang akan menjabat Desember. Sehingga pimpinan KPK yang baru nanti sudah bisa bekerja menggunakan UU yang baru juga," ujarnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:


KPK Tak Pernah Diajak

Sementara, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengaku belum mengetahui rencana DPR untuk merevisi UU KPK.

"KPK juga tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan rencana revisi UU KPK tersebut. Apalagi sebelumnya berbagai upaya revisi UU KPK cenderung melemahkan kerja pemberantasan korupsi," ujar Febri.

Bagi kami saat ini, kata dia, KPK belum membutuhkan revisi terhadap UU 30 Tahun 2002 tentang KPK. Justru dengan UU ini KPK bisa bekerja menangani kasus-kasus korupsi, termasuk OTT serta upaya penyelamatan keuangan negara lainnya melalui tugas pencegahan.

"Kalaupun keputusan menjadi RUU inisiatif DPR tersebut akan tetap dilakukan pada Paripurna, tentu tidak akan bisa menjadi UU jika tanpa pembahasan dan persetujuan bersama dengan Presiden. Karena UU adalah produk DPR bersama Presiden," tandas Febri.

Menanggapi rencana revisi itu, pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar mempertanyakan maksud DPR melakukan revisi tersebut. Pasalnya, kata dia selama ini sudah banyak masyarakat yang menolak UU KPK direvisi karena dianggap melemahkan kinerja lembaga antirasuah.

"Melihat content rencana perubahan UU KPK yang akan diusulkan DPR, nampaknya juga content content dalam konteks pelemahan, yaitu dibentuknya Dewan Pengawas (DP), kedudukan dan kewenangan DP diatas komisioner, penyadapan harus izin DP, KPK diberi kewenangan menerbitkan SP3 serta LHKPN," kata Abdul Fickar pada merdeka.com.

"Kontent-konten inilah yang pada waktu lalu ditolak masy dan banyak pihak lainnya, sehingga perubahan itu gagal dilakukan karena memang arahnya melemahkan KPK secara kelembagaan," sambungnya.

Selain Itu, Fickar juga menilai revisi ini juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundangan. Dia menilai dalam tidak ada urgensi yang sesuai bagi DPR untuk melakukan revisi.

Fickar pun memaparkan urgensi yang tercatat dalam UU tentang Tata Cara Pembentukan Perundang-Undangan. Mulai dari rencana perubahan UU KPK bukan pengaturan lebih lanjut dari suatu ketentuan UUD 45, perubahan UU KPK bukan perintah suatu UU untuk diatur dengan UU, rencana perubahan UU KPK bukan pengesahan perjanjian internasional tertentu.

Kemudian, rencana perubahan UU KPK bukan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi. Terakhir, rencana perubahan UU KPK bukanlah pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

"Karena masyarakat sendiri telah menolak rencana perubahan itu," tandasnya.

Reporter: Sania Mashabi

Sumber: Merdeka

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya