Liputan6.com, Jakarta - Semua Fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Dalam sidamng paripurna, revisi UU KPK itu disebut sebagai usulan DPR.
Hal tersebut disampaikan dalam sidang paripurna di Nusantara II, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (5/8/2019).
Advertisement
Pimpinan sidang, Wakil Ketua DPR Utut Adianto menanyakan persetujuan anggota dewan apakah setuju revisi UU KPK. Semuanya sepakat terhadap revisi tersebut.
"Saya mohon persetujuan anggota dewan terkait Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata Utut dalam sidang.
"Setuju," jawab peserta paripurna.
Adapun pandangan fraksi tidak dibacakan dalam sidang paripurna. Pandangan fraksi diserahkan secara tertulis kepada pimpinan DPR.
"Dengan demikian 10 fraksi telah menyampaikan pendapat fraksi masing-masing," kata Utut.
Kemudian, Utut menanyakan apakah anggota DPR setuju revisi UU KPK disetujui sebagai usulan DPR.
"Dapat disetujui sebagai usul DPR?,"
"Setuju," jawab anggota DPR menyepakati.
Baleg DPR telah membahas revisi UU KPK. Hari ini, Baleg telah menyerahkan untuk dibahas kepada paripurna.
Wakil Ketua Komisi Hukum DPR, Desmond Mahesa menyebut beberapa hal yang bakal direvisi dalam UU KPK. Pertama, kewenangan penyadapan atas izin pengawas, kedua pembentukan dewan pengawas KPK, ketiga penambahan SP3 atau penghentian kasus di KPK, serta terkait pengumuman LHKPN.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Tak Lemahkan KPK
Wakil Ketua Komisi III Desmond J Mahesa mengklaim revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) bukan untuk melemahkan komisi antirasuah. Menurut Desmond, beberapa pasal yang direvisi bertujuan untuk memberikan kepastian terhadap hukum.
Salah satu yang bakal direvisi adalah terkait penghentian kasus atau SP3. KPK tidak mengenal SP3 karena tidak ada dalam UU KPK. Politikus Gerindra ini menyebut, sebagai negara hukum sepantasnya diberikan kepastian hukum kepada warga negara.
"Dalam negara hukum harus ada SP3 karena ini bicara tentang kepastian hukum. Kalau ada pesan ini melemahkan kan dalam negara hukum harus ada kepastian hukum, kecuali Indonesia UU kita tidak bicara tentang negara hukum," jelas Desmond di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (5/8/2019).
Reporter: Ahda Bayhaqi
Sumber: Merdeka
Advertisement