Liputan6.com, Jakarta Indonesia Zinc Aluminium Steel Industries (IZASI) meminta pemerintah lebih tegas dalam menerapkan aturan perdagangan produk baja di Indonesia. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menekan peredaran baja impor yang telah merajalela dalam tiga tahun terakhir.
Direktur Eksekutif IZASI, Maharany Putri mengatakan, selama ini memang ada beberapa aturan yang diterbitkan oleh pemerintah melalui Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan dan Kementerian Perindustrian. Namun aturan hanya diterbitkan tanpa ada penindakan di lapangan.
"Aturan surat persetujuan impor atau SPI ini diatur dalam Permendag 22 tahun 2017 di mana pertimbangan teknisnya ditiadakan, kemudian inspeksi dokumen itu di post border serta untuk proyek pemerintah dimudahkan," ujarnya di Ibis Style, Jakarta, Kamis (5/8/2019).
Baca Juga
Advertisement
Selain itu juga ada aturan Permendag nomor 110 tahun 2018 dan Permen Peridustrian nomor 1 tahun 2019. Kedua aturan tersebut sudah diimplementasikan per Februari 2019. "Namun untuk post border perubahan ini yang belum ada turunan peraturannya untuk diimplementasikan. Banyak aturan tapi tidak ada pengawasan di lapangan kan percuma," jelasnya.
Maharany melanjutkan, untuk menyelesaikan persoalan impor baja yang semakin deras pemerintah harus bahu membahu antar kementerian mencari jalan keluar bagi pengusaha dalam negeri. Setidaknya, ada aturan yang adil bagi pengusaha dalam negeri untuk menjalankan usahanya.
"Kami sih inginnya ada national interest. Itu kan ada Kemenperin, Kemendag, BKF, Bea Cukai, KPPU. Apa saja bisa jadi national interest, Bappenas. Kita akan ketok pintu masing-masing, satu-satu untuk menjelaskan kondisi kita supaya mereka paham," jelasnya.
Adapun salah satu tuntutan pengusaha adalah bagaimana membuat harga baja dalam negeri tidak kalah saing dengan produk asing. "Kalau dikasih pilihan tapi banting harga kan sudah tidak fair dalam dunia bisnis. Padahal barang ini (impor) sudah sangat tidak standar," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Konsumsi Baja di Indonesia Kalah Dibanding Filipina dan Malaysia
Pemerintahan Jokowi-JK memiliki fokus membangun infrastruktur di seluruh negeri. Namun ironisnya, gencarnya pembangunan tersebut rupanya tidak menjadi angin segar bagi industri baja Tanah Air.
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengungkapkan, konsumsi baja Tanah Air sangat rendah. Bahkan kalah dibanding negara tetangga yang sedang tidak menggenjot infrastruktur yaitu Filipina.
Berdasarkan data yang dia peroleh, menurutnya konsumsi baja di Indonesia cuma 52 kilogram (kg) per kapita. Jauh lebih rendah dari Filipina hingga Korea Selatan.
"Kita saja kalah sama Filipina, kalah sama Malaysia. Malaysia hampir 300 kg. Sama Singapura saja kalah, Singapura sudah 400an kg per org per tahun," kata dia dalam Seminar nasional bertajuk 'Mendorong Keterkaitan Antar Sektor Industri dan Antar Wilayah untuk Mendorong Pengembangan Otomotif, TPT dan Alas Kaki' di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (4/9/2019).
Negara dengan konsumsi baja tertinggi saat ini dipegang oleh Korea Selatan, mencapai angka 1.100 kg per kapita.
Adapun rendahnya konsumsi baja di Indonesia ini, kata dia, merupakan salah satu indikasi adanya kekurang handalan proyek-proyek dalam negeri.
"Jadi konsumsi baja per kapita ini bisa kita artikan sebagai dua hal. Satu, industrinya belum terlalu hebat, (kedua) sama infrastrukturnya belum terlalu hebat. Kalau dua-duanya tinggi ini pasti tinggi (konsumsinya)," ungkapnya.
Advertisement
Konsumsi Baja Indonesia
Secara nasional berdasarkan data yang dia paparkan, konsumsi baja pada 2018 adalah sebesar 15,1 juta ton. Sementara pada tahun 2024 konsumsi baja diperkirakan akan mengalami peningkatan lagi menjadi 21,4 juta ton.
Krakatau Steel menyebut yang bisa diproduksi oleh pihaknya sekitar 10 juta ton, sehingga masih ada ruang yang belum bisa dipenuhinya sebesar 11,4 juta ton.
"Jadi ada potensi, 2024 konsumsi baja itu bisa 21 juta ton. kalau Krakatau Steel 10 juta ton artinya masih ada room lagi yang besar," tutupnya.