Liputan6.com, Jakarta - Belum usai dugaan pelemahan pemberantasan tindak pidana korupsi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh isu calon pimpinan yang bermasalah, kini muncul masalah baru yang menghantui lembaga yang kini dipimpin Agus Rahardjo.
Lembaga yang didirikan pada tahun 2002 oleh Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri ini harus menghadapi revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Advertisement
Revisi UU KPK sebelumnya sempat mencuat berkali-kali, namun kerap mendapat penolakan. Bahkan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi sempat menyatakan penolakan UU KPK direvisi pada 2015.
Hingga akhirnya pada Kamis 5 September 2019, semua fraksi di DPR menyetujui adanya revisi UU Nomor 20 tahun 2002 tentang KPK. DPR mengklaim revisi UU KPK bukan untuk melemahkan lembaga antirasuah.
Bahkan, DPR sempat menyatakan bahwa revisi UU KPK sudah disepakati oleh pemerintah sejak 2017. "Pemerintah dan DPR kan sudah, 2017 lalu ya itu sudah menyepakati," ujar anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu, Rabu, 4 September 2019.
DPR juga mengklaim sudah duduk bersama para pakar dalam pembahasan revisi UU KPK pada 2016.
Namun mencuatnya revisi UU KPK malah diakhir masa periode DPR 2014-2019. Bukan tak ada alasan, Masinton mengatakan, revisi UU KPK sengaja dilakukan di akhir periode DPR 2014-2019 bertepatan dengan akan adanya pimpinan KPK jilid V periode 2019-2023.
Masinton berharap pimpinan KPK selanjutnya sudah bisa berpatokan pada UU KPK, andai revisi UU KPK ini nantinya disepakati oleh Presiden Jokowi.
Dalam pembahasan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 ini, KPK mengaku tidak dilibatkan sama sekali. Pihak internal KPK sempat terkejut saat menerima poin-poin terkait revisi UU tersebut.
"KPK juga tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan rencana revisi UU KPK tersebut. Apalagi sebelumnya berbagai upaya revisi UU KPK cenderung melemahkan kerja pemberantasan korupsi," ujar Juru bicara KPK Febri Diansyah.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
KPK di Ujung Tanduk
Ketua KPK Agus Rahardjo langsung angkat bicara. Dia menggelar jumpa pers di Gedung KPK. Berdasarkan kebiasaan, jumpa pers hanya dilakukan KPK jika menetapkan seseorang sebagai tersangka, atau memang ada sesuatu yang sudah genting.
Di hadapan awak media, Agus yang ditemani Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dan Pelaksana harian Kabiro Humas KPK Yuyuk Andrianti ini bahkan sampai menyebut lembaga antirasuah berada di ujung tanduk.
"Kami harus menyampaikan kepada publik bahwa saat ini KPK berada di ujung tanduk. Sedang di ujung tanduk," Agus menegaskan saat jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (5/9/2019).
Menurut Agus, dalam beberapa waktu terakhir, terlihat jelas ancaman dari berbagai pihak yang berusaha melemahkan KPK.
Agus mengatakan, mulai dari adanya calon pimpinan (capim) KPK yang diduga bermasalah hingga usulan DPR untuk merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK adalah upaya pelemahan pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Bukan tanpa sebab. Semua kejadian dan agenda yang terjadi dalam kurun waktu belakangan ini membuat kami harus menyatakan kondisi yang sesungguhnya saat ini," kata Agus.
Agus membeberkan, setidaknya terdapat sembilan poin dalam draf revisi UU KPK usulan DPR yang berisiko melumpuhkan kerja KPK. Sembilan poin itu, yakni terancamnya independensi KPK, dibatasinya penyadapan, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR.
Kemudian dibatasinya sumber penyelidik dan penyidik, penuntutan perkara korupsi yang harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, tidak adanya kriteria perhatian publik sebagai perkara yang dapat ditangani KPK, dipangkasnya kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan, dan dihilangkannya kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan.
"Kemudian, kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas," kata Agus.
Upaya pelumpuhan lembaga antikorupsi juga dilancarkan melalui revisi UU KUHP. Agus mengatakan, saat ini, DPR tengah menggodok revisi UU KUHP yang akan mencabut sifat khusus dari Tindak Pidana Korupsi.
"Sehingga keberadaan KPK terancam," ungkap Agus.
Advertisement
Gantungkan Harapan ke Presiden
Ketua KPK Agus Rahardjo menyatan, kini menggantungkan harapannya kepada Presiden Jokowi. Agus berencana mengirimkan surat kepada Jokowi yang sempat menolak revisi UU KPK pada 2015 lalu. Agus berharap keputusan Jokowi sama seperti empat tahun yang lalu.
Yang paling terlihat melemahkan kinerja KPK dalam revisi UU tersebut yakni tentang penyadapan. KPK nantinya jika revisi UU tersebut disahkan pemerintah, KPK tak lagi bebas melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
Selain itu, KPK juga harus menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap kasus yang tak kunjung diselesaikan selama satu tahun. Setidaknya, ada dua kasus yang bisa lepas jika revisi UU tersebut disahkan.
Yakni kasus mantan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino (RJ Lino). RJ Lino dijerat sebagai tersangka pada 18 Desember 2015. Penetapan tersangka tersebut diawali dengan surat perintah penyidikan (sprindik) yang ditandatangani pimpinan KPK tertanggal 15 Desember 2015.
RJ Lino dijerat sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tiga unit quay container crane (QCC) alias mesin derek besar kontainer pada 2010.
Dia diduga menyalahgunakan wewenangnya dengan menunjuk langsung perusahaan asal Tiongkok, PT Wuxi Hua Dong Heavy Machinery. Co.Ltd., dalam pengadaan tiga alat berat tersebut.
Sejak dijerat sebagai tersangka, RJ Lino belum juga ditahan penyidik KPK. Bahkan sempat tersiar kabar bahwa RJ Lino kerap bepergian ke luar negeri. Lino juga pernah menantang KPK untuk segera menyelesaikan kasusnya.
Jika RUU KPK ini disahkan oleh pemerintah, maka kemungkinan RJ Lino akan dibebaskan.
Tak hanya kasus RJ Lino, kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menjerat Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan juga kemungkinan akan dihentikan jika RUU itu disahkan. Sebab, KPK menjerat Wawan sebagai tersangka TPPU sejak 2014. Hingga kini kasus tersebut belum naik ke meja hijau.