Pemberlakuan Bea Masuk Produk Sawit Indonesia Justru Rugikan Eropa

Dengan tarif sebesar 8-18 persen otomatis membuat produsen sawit Indonesia menaikan harga jualnya ke Eropa.

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Sep 2019, 15:00 WIB
Ilustrasi Perkebunan Sawit (iStockphoto)​

Liputan6.com, Jakarta - Uni Eropa resmi memberlakukan bea masuk untuk biodiesel asal Indonesia sebesar 8-18 persen. Kebijakan itu berlaku mulai Jumat ini dan ditetapkan secara definitif per 4 Januari 2020 dengan masa berlaku selama 5 tahun.

Ketua Dewan Pengawa Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), Rusman Heriawan, mengaku tidak merasa khawatir dengan pengenaan bea masuk yang diberikan kepada Benua Biru tersebut. Sebab, pengenaan bea masuk itu justru akan menjadi bumerang sendiri bagi Eropa.

Karena dengan tarif sebesar 8-18 persen otomatis membuat produsen sawit Indonesia menaikan harga jualnya ke Eropa. Sehingga beban atau daya beli produsen Eropa terhadap produk biodisel Indonesia akan semakin tinggi pula.

"Bicara produk politik dari Eni Eropa itu industri di sana itu kan untuk biodiesel sebenarnya mereka tetap butuh kok. Cuma dengan dinaikkan bea masuk, yang kena juga konsumen mereka juga," kata dia saat ditemui di Bandung, Jumat (6/9/2019).

Kendati begitu, adanya bea masuk ini juga memberikan dampak lain dirasakan oleh perusahaan-perusahaan sawit asal Indonesia. Artinya, para produsen tidak leluasa dalam mengekspor produk biodisel ke Eropa, mengingat Benua Biru tersebut menjadi pangsa besar bagi Indonesia.

"Memang kita menjadi tidak leluasa, tidak kompetitif dibandingkan dengan biodiesel dari biodisel dari produk dari bahan baku yang lain mereka juga punya dari rapside, bunga matahari dan lain lain. Tapi poinnya secara ekonomi yang rugi konsumen dia juga," jelas dia.

 


Subsidi

Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Di sisi lain, Rusman juga membantah terhadap tuduhan Eropa yang menyebutkan bahwa produsen sawit Indonesia menerapkan praktik subsidi untuk produk bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO). Sebab pemerintah sama sekali tidak terlibat dan memberikan subsidi kepada perusahaan sawit.

"Tuduhan itu kan intinya dumping sebenarnya kita tidak memberikan subsidi apapun kepada biodiesel kita, dari pemerintah ya. Karena yang kami berikan selisih harga itu kan dari BPDP. BPDP itu kan uangnya masyarakat juga kan yang kami kumpulkan dari eksportir kan bukan dari APBN ke produsen biodiesel tapi BPDP. BPDP ngumpulin dari eksportir juga kan," jelas dia.

Sebelumnya, Konselor Bagian Ekonomi dan Perdagangan Uni Eropa, Levente Albert menjelaskan, Eropa memiliki kebijakan anti-subsidi untuk menjegal subsidi tidak adil (unfair subsidies) pada barang impor yang bisa merugikan industri di Benua Biru. Sebagai balasan Eropa menerapkan bea masuk biodisel Indonesia atas subsidi tersebut.

"Dan komisi meluncurkan penyelidikan untuk melihat apakah memang ada subsidi. Investigasi diluncurkan pada awal tahun ini, ke beberapa perusahaan (Indonesia) dan mereka melihat akun mereka, mereka juga membuat dengan pemerintah dan mereka menemukan bahwa memang ada 3 skema subsidi yang ilegal," jelas dia.

"Kami di sini mengoreksi harga dari produknya. Jadi kami memperbaiki dari sisi ini dan tidak hanya pada satu margin saja," tambah dia.

 


Temuan Pelanggaran

Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Albert menyampaikan dari hasil penyelidikan semua eksportir perusahaan sawit asal Indonesia justru ditemukan pelanggaran yakni adanya pemberian subsidi yang menyebabkan harga jual lebih murah dibandingkan negara lain. Oleh karena itu, penerapan bea masuk menjadi alternatif bagi Benua Biru tersebut.

"Kami melihat harganya pada individual margin 80 persen ilegal. Bisa dikatakan tidak ada perusahaan Indonesia yang tak ilegal," katanya.

Adapun, bea masuk tersebut akan diberlakukan untuk biodiesel produksi Ciliandra Perkasa sebesar 8 persen, Wilmar Group 15,7 persen, Musim Mas Group 16,3 persen, dan Permata Group sebesar 18 persen.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya