Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) angkat suara soal protes Presiden Jokowi tentang 33 perusahaan asing yang ogah masuk ke Indonesia usai minggat dari China. Masalah perizinan ternyata disorot sebagai penyebab perusahaan asing masuk ke Indonesia.
Berdasarkan penelusuran BI, masalah biaya dan tenaga kerja dianggap bukan masalah bagi asing. Namun, isu perizinan menjadi momok karena penuh ketidakjelasan dan tak bisa masuk feasibility plan.
Baca Juga
Advertisement
"Jadi sebenernya masalah biaya, tenaga kerja, dan sebagainya itu sesuatu yang bisa diukur jadi buat mereka engak masalah, mereka bisa masukan di dalam perhitungan mereka, feasibility mereka. Tapi yang tak bisa diukur adalah perizinan, selesainya kapan, pembebasan lahan," ujar Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, pada Jumat (6/9/2019) di Museum Bank Indonesia, Jakarta Barat.
Destry memberi solusi agar para investor diarahkan ke sektor brownfield alias membeli proyek eksisting untuk menghasilkan produksi. Destry berkata ada banyak proyek brownfield yang sudah jadi dan dapat ditawarkan.
Mengenai Current Account Deficit (CAD), Destry berkata situasi Indonesia masih wajar untuk negara berkembang. Posisi defisit terhadap PDB juga masih aman di level 3 persen, berbeda dari negara lain yang bisa mencapai 6 persen.
"Tinggal masalah defisit buat apa karena kalau konsumtif kan masalah karena habis begitu saja, tapi kalau produktif kan bisa mengenerate future income," ujarnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
BI: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Sulit Capai 6 Persen
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Dody Budi Waluyo mengungkapkan akan sulit bagi Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi pada angka 6 persen. Ini disebabkan kondisi ekonomi global yang terus-terusan bergejolak.
Padahal, dia meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat jauh lebih baik dari saat ini jika kondisi eksternal kondusif dan tidak memberi banyak tekanan. Padahal, pereknomian Indonesia mengalami banyak peningkatan.
"Pertumbuhan ekonomi kita selalu terkendala. Seandainya memingkat, diikuti juga dengan peningkatan tekanan," kata dia, dalam sebuah acara diskusi di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (4/9/2019).
Tekanan dari eksternal tersebut berdampak langsung pada kondisi nilai tukar Rupiah. Yang selanjutnya mempengaruhi pada neraca perdagangan eskpor impor. Impor seperti diketahui selalu beriringan naik dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat.
Impor yang meningkat akan menggerus ketersediaan Dolar di dalam negeri. Hal itu otomatis membut nilai tukar Rupiah menjadi anjlok.
"Belum lagi karena tekanan kenaikan harga inflasi. Ada kendala dari sisi pertumbuhan ekonomi untuk bisa meningkatkan potensialnya dari saat ini. Ini mengapa pertumbuhan ekonomi 5,1-5,2 persen (padahal) keinginan kita selalu mencapai 6 persen," ujarnya.
Advertisement
Stimulus BI
Oleh karena itu, dia mengungkapkan BI selalu berusaha memberikan stimulus-stimulu ekonomi agar pertumbuhan ekonomi dapat meningkat tanpa ada gangguan stabilitas. Salah satunya dengan menurunkan suku bunga acuan atauBI 7-day Reverse Repo Rate.
"Sepanjang stabilitas kita jaga, di tengah tekanan eksternal global yang terus berlangsung. Kita meliha room penurunan suku bunga terbuka, kita sudah turunkan 2 kali sebesar 50 bps jadi 5,5 persen 2 bulan terakhir. Harapanya ini disambut oleh pelaku ekonomi untu kembali meningkatkan kegiatan usahanya," tutupnya.