Liputan6.com, Jakarta - Kamis, 9 September 2004 menjadi hari kelabu bagi bangsa Indonesia. Sekitar pukul 10.15 WIB, bom berkekuatan besar mengguncang kawasan Jalan H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Ledakan besar terjadi di depan pintu masuk Gedung Kedutaan Besar Australia Kavling C15-16.
Bom di Kedutaan Australia ini menambah luka bangsa Indonesia lantaran bom berkekuatan besar meledak di Bali pada tahun 2002. Kemudian setahun kemudian bom kembali meledak di JW Marriott pada tahun 2003.
Advertisement
Dalam catatan sejarah yang dirangkum Liputan6.com, dalam hitungan detik, kaca-kaca jendela gedung di sekitar Kedubes Australia hancur berantakan. Hiruk-pikuk keramaian di kawasan Segitiga Emas Kuningan, berubah menjadi kekacauan dan kepanikan. Warga menjadi panik dan histeris melihat jasad manusia berserakan di sekitar lokasi kejadian.
Spekulasi sumber datangnya ledakan masih simpang siur pada saat itu. Ada yang mengatakan bom berasal dari sebuah mobil yang berjalan lambat di depan Kedubes Australia, ada juga spekulasi lain menyebutkan bom dibawa dengan menggunakan sepeda motor.
Namun rekaman CCTV Plaza 89 yang berseberangan dengan Gedung Kedutaan Besar Australia, menguatkan dugaan sebelumnya bahwa sumber ledakan dari mobil Daihatsu Zebra.
Pada 11 September 2004, Tim Investigasi Bom di Kedutaan Besar Australia menyebut mobil boks pembawa bom itu terekam kamera CCTV. Saat melaju dari perempatan Kuningan menuju arah Menteng dan berputar di depan Plaza Kuningan, pada pukul 10.30 WIB lebih 56 detik atau sekitar 29 detik sebelum bom meledak.
"Ledakan berasal dari sebuah mobil Daihatsu Zebra berwarna Silver," kata Komisaris Besar Jenderal Polisi Suyitno Landung selaku Ketua Tim Investigasi Bom di Kedubes Australia.
Media nasional maupun internasional beramai-ramai meliput insiden itu. Publik pun bertanya-tanya siapa pelaku peledakkan bom itu dan apa motifnya.
Menjawab hal tersebut, Tim Penyidik Markas Besar Polri kemudian meneliti 117 potongan tubuh berserakan di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta -- dipastikan potongan tubuh adalah milik tersangka.
Melalui tes deoxyribose nucleic acid (DNA) atau uji identitas genetik, pelaku peledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia pun akhirnya diketahui bernama Heri Golun atau Heri Kurniawan. Pelaku adalah warga Kampung Cigarung, Desa Kebonpedes, Kecamatan Kebonpedes, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Pengeboman di depan Kedubes Australia dikaitkan dengan sosok Doktor Azahari bin Husin dan Noordin M. Top, warga Malaysia yang diduga menjadi dalang sejumlah pengeboman di Tanah Air. Dugaan keterlibatan dua teroris kelas kakap itu semakin kuat, setelah polisi menangkap dalang lainnya yakni Iwan Darmawan alias Rois, Heri Sigu Samboja alias Neri Anshori, Ahmad Hasan, dan Apui. Keempatnya telah diadili dan diberi hukuman.
Heri divonis tujuh tahun penjara dengan tuduhan menyembunyikan Doktor Azahari dan menyiapkan mobil boks yang digunakan untuk membawa bom dari rumah kontrakan mereka ke kawasan depan Kedubes Australia. Hasan, Apul dan Rois yang juga dihukum karena menjadi dalang pengeboman di Kuningan dijatuhi hukuman mati.
Gembong teroris, Doktor Azahari pun akhirnya tewas dalam baku tembak dengan personel Kepolisian Resor Kota Batu di vila kawasan Jalan Flamboyan Raya, Malang, Jawa Timur pada November 2005. Sedangkan Noordin M Top tewas dalam dalam penggerebekan selama tujuh jam di sebuah rumah di Jebres, Solo, Jawa Tengah pada 17 September 2009 silam.
Sidney Morning Herald kala itu melaporkan, total korban tewas 9 orang dan 161 luka-luka. Kala itu Megawati Soekarnoputri yang menjabat sebagai Presiden RI, turut menyampaikan ungkapan belasungkawa kepada keluarga korban dan mengutuk keras para pelaku pengeboman tersebut.
Mega bahkan mengatakan teror bom itu berkaitan dengan pilpres putaran kedua yang digelar 20 September -- 11 hari sebelum pengeboman. Dengan kata lain, ledakan itu sebagai usaha untuk mengganggu jalannya pilpres babak kedua pada saat itu, antara Mega dengan capres SBY.
Ledakan di depan Kedubes Australia itu pun sempat mencoreng kinerja aparat keamanan. Apalagi, beberapa menit sebelum bom menghancurkan pagar Kedubes Australia sempat terlontar ucapan dari Kepala Polri saat itu, Da'i Bachtiar bahwa Indonesia aman dari gangguan teroris.
Padahal sepekan sebelum ledakan itu, Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer mengaku telah mendapat peringatan tentang kemungkinan teror bom terhadap warga asing di Indonesia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Kenangan Korban
Senyum cerah terus menghiasi wajah pria paruh baya itu. Dengan ramah dia menyambut satu-persatu penyintas atau korban bom Kuningan yang datang di acara peringatan 12 tahun tragedi yang menewaskan 9 orang itu.
Namanya Iswanto, usianya 42 tahun. Dari keceriaan yang dia sebar, tak ada yang menyangka bahwa Iswanto adalah salah satu korban tragedi bom Kuningan. Dengan suara bergetar, Iswanto menceritakan sedikit pengalamannya saat ledakan bom yang membuatnya kehilangan mata kanan.
"Saya bertugas sebagai satpam di Kedubes Australia. Saya tidak bermaksud mengungkit luka lama. Tapi hari itu tidak akan terlupa seumur hidup. Bagaimana menyakitkannya menjadi korban bom. Bagaimana sakitnya melihat teman kami mendapat kecacatan yang luar biasa," ucap Iswanto. Senyum dia perlahan memudar saat menceritakan.
Di pagi yang penuh teror, 9 September 2004, Iswanto sedang bertugas sebagai penjaga lalu lintas di depan kedutaan Australia. Sekitar pukul 10.15, sebuah mobil boks datang ke arahnya, menuju gerbang kedutaan.
Sampai tiba-tiba, mobil boks itu meledak. Tepat di depannya.
"Mobil boks itu berjalan pelan yang bertujuan masuk di gerbang Kedubes. Saya melihat mobil itu, saya mengarahkan mobil itu agar tidak maju ke gerbang. Tiga langkah saya berteriak mengarahkan mobil itu, tapi mobil itu meledak," ucap Iswanto.
Seketika semua gelap. Iswanto tidak dapat melihat apa pun. Dia hanya dapat mendengar raungan dan teriakan. Tak lama, Iswanto baru merasakan sakit di sekujur tubuh. Sakit yang tak tertanggungkan. 38 titik luka di tubuhnya baru sembuh sepenuhnya usai puluhan operasi yang dijalani selama berbulan-bulan.
"Ada 38 titik luka. Mata sebelah kanan saya buta permanen. Saya hanya mendengar suara teman saya berteriak minta tolong panik. Saya mencoba bangun, mencoba melihat. Namun hanya melihat kegelapan. Saya tidak menyadari mata saya tertusuk. Saya hanya merasakan panas yang luar biasa," tutur Iswanto.
Dua tahun menjalani pengobatan di Singapura dan Australia, Kini, Iswanto bekerja sebagai staf di Kedubes Australia.
"Pemerintah (Indonesia) perhatiannya kecil. Banyak teman butuh pertolongan khususnya obat. Dari 200-an korban, tinggal 11 orang yang masih diberi obat dari Australia," ucap dia.
Iswanto cukup beruntung karena dia salah satu korban bom Kuningan yang biaya pengobatannya ditanggung oleh Australia. Untuk itu, dia berharap agar pemerintah Indonesia lebih perhatian pada korban bom.
"Pesan saya, yang diperhatikan jangan hanya pelaku, tapi korban juga, bagaimana memperdayakan korban, menjadikan korban menjadi duta perdamaian. Ayo kita bangkit bersama," ia menandaskan.
Advertisement