Revisi UU Dinilai Demi Pelurusan Kinerja KPK

Poin-poin UU KPK yang direvisi oleh DPR perlu juga dicermati dari kacamata berbeda.

oleh Muhammad Ali diperbarui 08 Sep 2019, 09:27 WIB
Pekerja membersihkan debu yang menempel pada tembok dan logo KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/11). KPK merilis Indeks Penilaian Integritas 2017. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - Disepakatinya Inisiatif DPR atas revisi undang undang KPK bergulir bak bola panas. Penolakan dan dukungan terus bermunculan sejak disepakatinya revisi UU No 30 tahun 2002 tentang komisi tindak pidana korupsi.

Guru Besar Fakults Hukum Universitas Gajah Mada, Nurhasan Ismail ikut berkomentar dalam pusaran bola panas yang sudah digilirkan Baleg DPR itu.

“Isu perubahan UU KPK bisa dinilai memperkuat atau melemahkan KPK tergantung substansi perubahan. Oleh karena itu harus dicermati satu persatu sehingga bisa dinilai sebagai penguatan atau sebaliknya,” terang Nurhasan kepada wartawan, Minggu (8/9/2019).

Lebih lanjut, Ia menjelaskan bahwa poin-poin yang direvisi oleh DPR perlu dicermati dari kacamata berbeda. Bisa jadi perubahan UU itu sebagai pelurusan kinerja KPK dan bukan pelemahan KPK.

Nurhasan pun merinci poin-poin yang menjadi bahan revisi oleh DPR tersebut. Seperti halnya Dewan Pengawas KPK yang menurutnya bisa untuk mengawasi kinerja KPK termasuk tindakan penyadapan.

“Apakah revisi itu akan meniadakan dan menghambat proses penyadapan yang benar-benar diperlukan dalam rangka menemukan alat bukti, yang urgen diperlukan untuk memperjelas tindak korupsinya? Bagaimana jika justru sebaliknya, untuk mendorong ke arah penyadapan yang profesional dan vital untuk memperkuat pembuktian? Itu yang harus dicermati,” ungkapnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Bertentangan Nalar

Pekerja membersihkan debu yang menempel pada tembok dan logo KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/11). Pemprov Papua merupakan daerah yang memiliki risiko korupsi tertinggi dengan. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Pun demikian dengan substansi Surat Penghentian Penyidikan atau SP3. Tidak diberikannya kewenangan SP3 kepada KPK dinilai bertentangan dengan nalar filosofis dan sosiologis hukum.

“Tidak adanya kewenangan SP3 bertentangan dengan hakekat dan karakter manusia yang lemah dan terbuka berbuat salah, karena para manusia di KPK bukan malaikat dan hal tersebut menyebabkan KPK terperosok pada perbuatan yang melanggar hak asasi manusia,” ucap Nurhasan.

Ia menilai dalam revisi tersebut, permintaan baleg DPR agar latar belakang penyidik lembaga antirasuah berasal dari kepolisian dan kejaksaan cukup beralasan. Bahkan jika KPK harus mengangkat penyidik independen dan profesional akan memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit.

“Paling tidak, Ini harus dinilai sebagai pemborosan sumber daya ekonomi dan manusia, sementara sudah ada penyidik yang siap untuk dimanfaatkan,” tutupnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya