Liputan6.com, Aceh - Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sedang menggodok lahirnya qanun perlindungan satwa liar di provinsi tersebut. Tinggal menunggu diparipurnakan dalam akhir bulan ini.
Ketua Komisi II DPR Aceh, Nurzahri mengatakan, saat ini pihaknya sedang menunggu nomor register dari Kementerian Luar Negeri. Selain semangat untuk melindungi satwa liar, ruh dari lahirnya qanun ini ialah solusi untuk mengatasi konflik satwa dengan masyarakat.
Advertisement
Aturan di dalam raqan ini melarang berbagai hal yang bertentangan dengan semangat perlindungan satwa. Antara lain, merencanakan, mengganggu dan merusak habitat satwa liar, melakukan kegiatan yang mengancam plasma nutfah, memasang jerat dari jenis bahan yang mengancam satwa liar dilindungi.
Rancangan qanun (raqan) menyebutkan, perlindungan satwa liar di Aceh bersifat holistis. Melalui qanun ini, sanksi juga bisa menyasar semua pihak.
Tidak hanya masyarakat biasa, lembaga negara yang membiarkan kehidupan satwa liar dilindungi terancam, terancam hukuman 100 kali cambuk atau denda 1.000 gram emas murni. Termasuk pula aparat TNI/Polri.
"Bagi pelaku pidana satwa, selain dikurung dengan undang-undang nasional, juga di Aceh, khusus ditambahkan dengan hukuman cambuk sebanyak 100 kali," sebut Nurzahri, kepada Liputan6.com, Senin siang (9/9/2019).
Raqan ini juga menegaskan agar Pemerintah Aceh mempertahankan habitat permanen satwa liar, serta memulihkan spesies kunci. Untuk mewujudkan hal ini, akan ditetapkan zona perlindungan intensif.
Seluruh aktivitas pemanfaatan dan pengendalian ruang sebagai objek atau tempat melaksanakan kegiatan/program, disesuaikan dengan rencana strategis konservasi serta aksi perlindungan satwa liar. Termasuk melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat terkait.
Qanun perlindungan satwa sendiri digagas lembaga sipil yang bergerak dalam perlindungan satwa. Banyak yang mulai khawatir mengingat maraknya kematian satwa liar akibat perburuan, serta konflik satwa liar dengan manusia.
"Kenapa segmennya satwa, karena satwa itu indikator sehat tidaknya kawasan hutan kita. Jadi ada pengaturan tentang habitat, kawasan perkebunan yang memotong koridor satwa. Masyarkat yang mendapat imbas konflik satwa juga akan diberi ganti rugi," jelas Nurzahri.
Perangkap satwa memang sering memakan korban di Aceh. Data yang didapat Liputan6.com, setidaknya 4 ekor gajah, 3 ekor beruang madu, terluka akibat jeratan, termasuk 2 ekor harimau ditemukan tinggal belang per Januari-Agustus 2019.
Lembaga Forum Konservasi Leuser (FKL) berhasil mengumpulkan sebanyak 5.529 jerat berbagai jenis dari kawasan hutan Leuser sepanjang 2014-2018. Jerat-jerat tersebut diperuntukkan menjerat rusa, kambing hutan, harimau, gajah, hingga landak.
Bentuknya bervariasi, mulai dari selang kecil hingga tali berukuran besar. Pada beberapa jerat yang ditemukan terdapat kayu berujung lancip yang gunanya untuk membunuh satwa buruan.
Jumlah jerat yang ditemukan pada 2018 meningkat dari tahun sebelumnya. Pada 2018, FKL menemukan 843 jerat, 2017 sebanyak 814 jerat, sementara per Januari-Juli 2019 tercatat 173 jerat ditemukan.