Perang Dagang Tekan Harga Batu Bara

Harga acuan baru bara pada September mengalami‎ penurunan sebesar USD 6,97 per ton.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 09 Sep 2019, 18:45 WIB
Aktivitas di tambang batu bara di Lubuk Unen, Kecamatan Merigi Kelindang, Kabupaten Bengkulu Tengah. (Liputan6.com/Yuliardi Hardjo Putro)

Liputan6.com, Jakarta - Berlarutnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China berdampak pada penurunan harga batu bara Indonesia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan Harga Batu bara Acuan (HBA) September 2019 sebesar USD 65,70 per ton.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan, ‎HBA September mengalami‎ penurunan sebesar USD 6,97 per ton dari Agustus 2019 sebesar USD 72,67 per ton.‎‎

"Harga batu bara acuan September USD 65,70 per ton," kata Agung, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (9/9/2019).

Pemicu penurunan harga batu bara di antaranya adalah berlarutnya perang dagang antara AS dan China. Selain itu juga penuranan permintaan batu bara dari Eropa‎ sehingga stok batu bara berlebih.

"Masih berlanjutnya perang dagang antara negara China dan Amerika Serikat serta menurunnya permintaan batu bara dari benua Eropa," tutur Agung.

Agung melanjutkan,‎ berdasarkan kondisi pasar global, penyebab penurunan signifikan HBA September 2019 dipengaruhi oleh pembatasan impor batu bara dari Indonesia oleh China dan India, ditunjang dengan peningkatan produksi batubara di China dan India.

"Produksi dalam negeri batu bara China dan India yang menyebabkan pembatasan impor batu bara dari Indonesia oleh China dan India," tandasnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


74 Tahun Merdeka, Pertumbuhan Ekonomi RI Masih Bergantung pada Batu Bara

Ilustrasi batu bara Bengkulu (Liputan6.com / Yuliardi Hardjo Putro)

Sebelumnya, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri mengatakan, setelah 74 merdeka pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bergantung pada sektor non migas seperti batu bara dan kelapa sawit. Hal ini yang kemudian membuat pertumbuhan ekonomi lambat dari tahun ke tahun.

"Dari dua jenis barang non migas, batu bara dan sawit sudah 74 merdeka masih bergantung pada itu. Tidak mengalami transformasi," ujar Faisal saat memberi paparan dalam diskusi di Kedai Tempo, Jakarta, pada Rabu 14 Agustus 2019. 

Faisal mengatakan, neraca perdagangan pun turut kena imbas karena pemerintah tak mampu mencari sektor lain untuk menggerakkan ekspor. Padahal ekspor menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi disamping investasi dan konsumsi.

"Tahun lalu merchandise perdagangan barang mengalami defisit USD 0,4 miliar. Defisit itu barang dijual dibanding yang di beli banyakan belinya. Ini ada non migas surplus USD 11,2 miliar. Tapi migas minus USD 11,6 miliar. Jadi surplus mau dari mana, cuma batu bara dan sawit cuma itu," jelasnya.

Faisal menambahkan, pemerintah harus mencari cara lain agar defisit tak terus terjadi dan pertumbuhan ekonomi bisa meningkat pesat. Termasuk mengkaji kembali sektor-sektor penting yang masih bisa digenjot seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT), perikanan dan sektor energi.

"TPT menyumbang pendapatan USD 3 miliar. Tapi sekarang hampir sama dengan perdagangan Ikan. Bulan juli Bank Dunia mengajak Indonesia melihat ocean. Ini bisa dimanfaatkam karena tanpa bikin investasi baru lagi jadi bisa mendatangkan pendapatan," jelasnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya