Liputan6.com, Yogyakarta - Yogyakarta memang gudangnya pendidikan. Tidak salah jika kota ini mendapat predikat sebagai Kota Pelajar. Apa pun bisa dipelajari di sini, tak terkecuali air hujan.
Sekolah Air Hujan Banyu Bening menjadi sekolah informal pertama di Indonesia yang mempelajari seluk-beluk air hujan. Sekolah yang berlokasi di Dusun Tempursari, Desa Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman ini mengajak masyarakat umum dari berbagai usia dan lapisan masyarakat untuk mengenal air hujan lebih dalam.
"Komunitas kami bergerak di bidang konservasi alam, terutama kampanye penggunaan air hujan dan menanam tanaman untuk konservasi air hujan," ujar Sri Wahyuningsih, ketua Komunitas Banyu Bening di sela-sela peresmian Sekolah Air Hujan, Senin, 9 September 2019.
Baca Juga
Advertisement
Sekolah Air Hujan membuka kelas regular setiap Sabtu dan Minggu. Tidak ada batasan usia untuk duduk di kelas yang menerapkan belajar sembari praktik ini. Siapa pun bisa bergabung dan tidak dikenakan biaya sepeser pun.
Kurikulum diterapkan sesuai dengan latar belakang pendidikan peserta. Misal, untuk anak-anak bisa dilakukan sembari outbound.
"Tetapi tujuannya sama, kemandirian air untuk semua," ucapnya.
Saat ditanya soal seberapa penting air hujan, Yu Ning, demikian ia akrab disapa, mengungkapkan sebuah pernyataan. Air hujan tidak hanya untuk mengatasi kerentanan persediaan air selama musim kemarau, melainkan juga menyelamatkan generasi mendatang.
Gerakan Memanen Air Hujan
Komunitas Banyu Bening sudah memulai aktivitasnya sejak 2012. Kampanye memanen air hujan ini disebarluaskan ke masyarakat, mulai dari lingkungan sekitar sampai ke luar pulau Jawa. Saat ini 90 persen warga di dusunnya sudah melakukan hal ini.
Air hujan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan mandi cuci kakus (MCK). Air dari langit ini juga bisa untuk air minum dan kebutuhan memasak.
Memang cara yang digunakan untuk menampung air hujan tidak bisa sembarangan. Yu Ning membagikan cara menampung air hujan yang benar.
Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk menampung air hujan. Pertama, menggunakan gama rain filter berupa tabung berukuran 1.000 liter. Di dalamnya terdapat penyangga berlapis, jadi ketika air hujan mengalir dari talang air atau atap rumah bisa langsung digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi.
Untuk membangun instalasi penyaringan permanen air hujan ini memang membutuhkan biaya yang lumayan, sekitar Rp 6 juta. Namun, cara ini tidak mutlak.
Jika tidak ada biaya, ia menyarankan untuk menampung hujan secara manual, yakni menggunakan ember atau panci. Hujan yang turun tidak bisa langsung ditampung.
"Harus menunggu 15 sampai 20 menit dari hujan pertama baru bisa ditampung, tujuannya supaya polutan yang terbawa air hujan mengendap," kata Yu Ning.
Advertisement
Apresiasi Pemerintah Daerah dan Pusat
Wakil Bupati Sleman Sri Muslimatun meresmikan Sekolah Air Hujan Banyu Bening. Ia mengapreasiasi keberadaan sekolah yang dianggap bisa menjadi ajang pendidikan karakter bagi generasi muda.
"Generasi ini yang menggantikan kita untuk peduli terhadap lingkungan," kata Sri Muslimatun.
Deputi Bidang Pencegahan BNPB Lilik Kurniawan menuturkan sebelum sekolah air hujan ini muncul, sudah ada sekolah sungai.
"Komunitas Banyu Bening kami dorong untuk tumbuh dan di sini sebagai pusat (belajar) air hujan," ujar Lilik.
Ia berpendapat bencana kekeringan merupakan bencana yang lambat tetapi penanganannya lama. NTT dan Gunungkidul adalah contoh daerah di Indonesia yang langganan kekeringan setiap tahun.
Lilik mengatakan daerah-daerah yang rentan kekeringan akan diintervensi kampanye memanen air hujan.
Saksikan video pilihan berikut ini: