Melangitkan Harapan Lewat Lampion di Mooncake Festival

Siapapun boleh menuliskan harapannya di lampion terbang.

oleh Abdul Jalil diperbarui 11 Sep 2019, 01:00 WIB
Lukisan Dewi Bulan menjadi salah satu spot paling diminati pengunjung untuk berfoto. (foto: Liputan6.com / abdul jalil)

Liputan6.com, Samarinda - Ini kisah dari mooncake festival. Andini, perempuan muda berusia 19 tahun, berjalan menapaki tangga patung Budha di Kompleks Maha Vihara Sejahtera Maitreya, Jalan DI Panjaitan, Samarinda, Kalimantan Timur. Ia menenteng lampion terbang bersama dua orang kawannya.

"Semoga apa yang saya cita-citakan segera tercapai," tulis perempuan berhijab itu di lampion terbang.

Dibantu seorang relawan bencana, Andini coba menerbangkan lampion tersebut persis di bawah patung Budha. Tak berapa lama, setelah api di bawah lampion menyala, harapan Andini itu pun terbang.

Mata Andini takjub menatap lampion terbang mengangkasa. Patung Budha yang kokoh seolah menatap lampion yang mengudara. Langit Samarinda yang gelap, kali ini sangat berwarna dengan banyaknya lampion terbang.

Akhir pekan pertama Bulan September 2019 kompleks Vihara itu memang menyelenggarakan Mooncake Festival. Atau jika diartikan menjadi Festival Kue Bulan. Festival ini biasanya diselengarakan di Bulan September atau Bulan Oktober. Dalam kalender Tionghoa, Mooncake Festival dilaksanakan pada hari kelimabelas, bulan ke Sembilan.

"Ini pertama kalinya saya terbangkan lampion. Katanya tadi boleh menuliskan harapan. Jadi saya tulis harapan itu di lampion biar bisa ikut terbang," kata Andini, Minggu (8/9/2019).

Selama Mooncake Festival berlangsung, Kompleks Maha Vihara Sejahtera Maitreya selalu ramai. Halaman vihara yang dihiasi beragam lampion pun padat oleh manusia. Mereka bisa menyaksikan aktivitas umat Budha di tempat ibadahnya. Lebih khusus lagi, masyarakat Samarinda bisa menyaksikan budaya Tionghoa dan ikut merasakan suasananya.

Ahmad Jainuri (35) berusaha menenangkan putrinya yang menangis. Lukisan Dewi Bulan di dinding padat oleh manusia. Sementara putrinya tak sabar ingin berfoto di lukisan itu. Di kanan dan kiri lukisan ada koridor yang berhias banyak lampion berwarna merah.

"Susah berfoto, mas. Padat sekali. Anak saya ingin foto di situ," kata Jainuri sambil menunjuk lukisan Dewi Bulan, salah satu spot favorit di Mooncake Festival.

 


Dunia Adalah Satu Keluarga

Menerbangkan lampion, melangitkan harapan. (foto: Liputan6.com / abdul jalil)

Festival yang dimulai sejak petang itu memang menyedot animo masyarakat. Semakin malam, pengunjung yang datang semakin banyak. Untuk berfoto di berbagai sudut halaman vihara memang butuh kesabaran luar biasa.

Mooncake Festival memang tradisi warga Tionghoa. Sebuah perayaan besar setelah Imlek. Bagi masyarakat Tionghoa, Mooncake Festival juga memiliki makna khusus. Tak heran jika ada ritual tersendiri di perayaan ini.

Agar bisa dirayakan bersama, Mooncake Festival digelar dan terbuka untuk umum. Tujuannya supaya masyarakat juga bisa ikut menikmati kemeriahan Festival kue Bulan.

"Mooncake Festival merupakan salah satu bentuk festival yang kita adakan untuk menjalin silaturahmi dari berbagai kalangan, suku, agama, maupun ras. Melalui satu momen festival ini, kita bisa menjalin persaudaraan," kata Dharmadi, Humas Maha Vihara Sejahtera Maitreya.

Tak heran jika tema yang diusung adalah, “Indonesia Harmonis, Dunia Satu keluarga”. Tak sekedar memperkenalkan budaya Tionghoa, Festival Mooncake diharapkan menjadi sarana interaksi masyarakat tanpa memandang latar belakang masing-masing.

Di festival ini, pengunjung bisa menyaksikan lebih dekat Vihara milik Umat Budha. Apalagi kini Maha Vihara Sejahtera Maitreya sudah ditetapkan oleh Pemkot Samarinda sebagai pusat keagamaan umat Budha.

Ada dua aliran besar Umat Budha di dunia ini yaitu Budha Mahayana dan Budha Theravada. Maha Vihara Sejahtera Maitreya beraliran Mahayana dengan ciri altar ibadah diisi lebih dari satu patung Budha. Sedangkan Theravada hanya diisi satu patung Budha.

"Aliran Budha Mahayana memang berasal dari utara yakni dari kawasan China dan Korea. Sehingga sangat kental budaya dari sana," papar Dharmadi.

Meski demikian, Pemerintah Kota Samarinda menetapkan Maha Vihara Sejahtera Maitreya sebagai Buddhist Centre. Sehingga semua aliran Agama Budha bisa beraktivitas di tempat ini.

simak video pilihan berikut:

 


Tentang Buddhist Centre

Pesta warna lampion di halaman Maha Vihara Sejahtera Maitreya. (foto : Liputan6.com /abdul jalil)

Kompleks Budhist Centre cukup mencolok dari pinggir jalan. Tulisan Maha Vihara Sejahtera Maitreya cukup terlihat. Bangunan Patung Budha dengan tinggi lebih dari 20 meter tampak mencolok karena berdiri paling depan. Patung Budha sendiri memiliki tinggi delapan meter.

"Di bawah patung Budha ada dipajang 12 shio. Kita sajikan pula tiga Bahasa agar kompleks ini benar-benar jadi pemersatu keluarga Indonesia," kata Dharmadi.

Bagunan utama terdiri dari lima lantai. Untuk ibadah, altar berada di lantai dua. Bangunan yang megah ini kini menjadi salah satu ikon Kota Samarinda.

Selama perayaan Mooncake Festival yang berlangsung tiga malam berturut-turut, pengunjung bisa menyaksikan beragam atraksi. Tak hanya dari budaya Tionghoa sendiri, juga ada beragam budaya Indonesia lainnya yang disajikan.

Hampir setiap malam pengunjung disajikan tarian dewa-dewi. Tarian ini menjelaskan kepada masyarakat tentang sejarah Mooncake Festival.

Gus Teja, seorang seniman seruling yang cukup terkenal, ikut ambil bagian dalam festival ini. Dengan berpakaian adat Bali, Gus Teja tampil memukau pengunjung dengan permainan serulingnya.

Sebagai penutup acara, atraksi Barongsai menjadi pelengkap festival ini. Pengunjung berdecak kagum melihat barongsai loncat di tonggak besi yang berjajar rapi.

Sebagai pelengkap, pihak penyelenggara menyediakan bazar makanan di basemen Vihara. Makanan yang disajikan merupakan makanan vegetarian. Bazar ini juga mengedukasi masyarakat soal makanan sehat.

"Di sini kita juga sekaligus mengedukasi masyarakat mengembangkan pola hidup sehat berbasis nabati. Karena kita menyadari, masyarakat belum teredukasi dengan baik untuk meningkatkan kesehatannya melalui makanan," kata Dharmadi.

Meski vegetarian, pengunjung bisa memperoleh makanan pada umumnya seperi gulai daging, sate, soto medan, dan lain-ain. Tentu saja, dagingnya berasal dari olahan tumbuhan seperti jamur dan kedelai.

 


Pesan

Patung Buddha 20 meter di halaman vihara. (foto: Liputan6.com / abdul jalil)

Pesan kuat yang disampaikan oleh Mooncake Festival adalah terjalinnya kebersamaan warga. Meski diselenggarakan di Vihara, apalagi oleh komunitas Tionghoa, festival ini diharapkan menjadi pemersatu bangsa.

"Itu cita-cita kami. Kue bulan itu bulat yang melambangkan persatuan. Itulah yang kita inginkan di festival ini. Kita ingin Indonesia bersatu. Kita ingin perbedaan budaya membuat kita makin bersatu," papar Dharmadi yang juga menjadi Humas Buddhist Centre.

Disamping itu, karena Mooncake Festival merupakan perayaan budaya Tionghoa, banyak harapan yang muncul. Tak heran jika lampion terbang banyak ditulis harapan-harapan masyarakat Kota Samarinda.

"Kadang-kadang orang itu perlu satu sugesti dalam hidup. Dengan menuliskan harapan itu, sebenarnya kita membangun sugesti. Apa yang kita terbangkan, nanti bisa kita perjuangkan dan segera berhasil," katanya.

Penyelenggara Mooncake Festival yang keempat kalinya ini kini menjadi agenda rutin tahunan. Pemerintah daerah setempat sudah memasukkan festival ini sebagai agenda festival tahunan. Pihak penyelenggara berharap masyarakat bisa memberi masukan untuk perbaikan penyelenggaraan di tahun-tahun berikutnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya