Liputan6.com, Jakarta Pabrik perakitan Esemka telah diresmikan Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo. Tidak hanya itu, Jokowi juga menjadi saksi peluncuran model pertama merek asal Boyolali ini, yaitu Bima.
Namun, mantan walikota Solo tersebut menegaskan, Esemka bukan lah mobil nasional (mobnas). "Esemka ini hanya perusahaan nasional, jadi bukan mobil nasional. Kita bersyukur bisa merintis mobil karya anak Indonesia. Semoga bisa memberikan manfaat bagi masyarakat Boyolali khususnya dan Indonesia pada umumnya," ujar Jokowi, dalam sambutannya saat meresmikan pabrik Esemka, di Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (6/9/2019).
Baca Juga
Advertisement
Pernyataan tersebut setali tiga uang dengan apa yang diucapkan Presiden Direktur PT Solo Manufaktur Kreasi (SMK), Eddy Wirajaya. Ia enggan produknya disebut sebagai mobnas, apalagi dibandingkan dengan mobil nasional dari berbagai negara, seperti Malaysia dan Vietnam.
"Kami (Esemka) bukan mobil nasional, hanya mobil yang diproduksi di Indonesia. Jadi, jangan salah persepsi, karena pengertian mobil nasional itu luas," tegasnya beberapa waktu lalu.
Usai kehadiran mobil Esemka, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan bahwa pemerintah tetap akan terus mendorong pengembangan mobil nasional. Hal ini dalam rangka menjadikan Indonesia sebagai hub sekaligus trendsetter industri otomotif dunia.
Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kemenperin, Putu Juli Ardika mengatakan, konsep mobnas sebenarnya harus dilihat secara luas. Artinya, mobil nasional bukan hanya soal merek nasional, tetapi semua kendaraan roda empat yang telah diproduksi di dalam negeri.
"Kalau kita bicara soal mobil nasional, itu mobil yang diproduksi di Indonesia dan itu build in Indonesia, yang nilai tambahnya di Indonesia," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Swasembada Kendaraan Bermotor
Menurut Putu, saat ini sebenarnya Indonesia juga sudah masuk dalam era swasembada kendaraan bermotor. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya kendaraan yang diproduksi di dalam negeri dan mampu menembus pasar ekspor dunia.
"Industri otomotif kita sudah cukup berkembang di Indonesia. Kita sudah swasembada kendaraan bermotor, baik sepeda motor maupun kendaraan roda empat. Kalau kita bandingkan dari nilai ekspornya, dibandingkan impornya, kita sudah lebih banyak ekspor kendaraan dalam bentuk CBU dan sekarang menyusul dalam bentuk CKD. Itu dari lokal kontennya, nilai tambahnya sudah besar berkontribusi pada PDB nasional," jelas dia.
Untuk pengembangan mobil nasional ke depan, lanjut Putu, fokus pemerintah bukan lagi mampu memproduksi di dalam negeri, melainkan soal pengembangan dari kendaraan tersebut. Konsep yang akan diusung ke depan untuk mobil nasional yaitu kendaraan bahan bakar fleksibel atau flexy engine.
Dengan konsep ini, maka banyak bahan baku lokal yang bisa dimanfaatkan untuk membangun sebuah kendaraan, karena akan mengombinasikan energi listrik dengan biofuel atau bahan bakar nabati.
"Kita juga akan mengembangkan flexy engine yang menggunakan biofuel. Apalagi nanti dikombinasikan dengan teknologi electric vehicle dengan biofuel. Kita akan jadi trendsetter dunia dalam industri otomotif untuk yang berbahan baku biofuel, kombinasi antara listrik dan biofuel," kata Putu.
"Jadi ada listriknya dan pakai fuel dari minyak nabati. Itu akan bagus karena akan ada keberlanjutan, maupun dari segi daya saing. Karena itu local endowment, itu fondasi yang kita punya," tandas dia.
Advertisement
Lika-liku Mobil Nasional di Indonesia
Bukan sekali dua kali saja wacana mobil nasional digulirkan. Tercatat, terdapat beberapa mobil yang pernah jadi calon kuat mobil nasional sejak era Soeharto, tetapi berhenti.
Selain Esemka, 5 mobil berikut ini pernah jadi calon kuat mobil nasional:
1. Maleo
Ide tentang mobil nasional telah muncul sejak Toyota Kijang pertama kali diluncurkan pada gelaran Pekan Raya Jakarta 1975. Meskipun begitu, dapat dikatakan batu pondasi proyek ini adalah Maleo, mobil yang dibidani BJ Habibie pada 1996.
Maleo menggendong mesin 1.200 cc tiga silinder yang merupakan mesin baru hasil kerja sama dengan Orbital, perusahaan otomotif asal Australia. Saat itu, komponen lokal Maleo direncanakan di atas 80 persen.
Sayang, dana proyek ini kemudian tersedot untuk proyek mobil nasional lainnya yang dilakukan oleh Tommy Soeharto. Proyek Maleo pun gagal sebelum diproduksi massal.
2. Timor
Soeharto melalui Inpres Nomor 2 Tahun 1996 menginstruksikan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk secepatnya membuat proyek industri mobil nasional. Saat itu, PT Timor Putra Nasional (PT TPN) yang dimiliki Tommy Suharto ditunjuk sebagai pionirnya.
Beberapa keuntungan diberikan untuk perusahaan tersebut. Salah satunya adalah dibebaskan dari pajak, tetapi dengan syarat mobil harus menggunakan komponen lokal seluruhnya. Model pertama yang dihasilkan proyek ini adalah Timor S515.
Kemudian, Timor juga sempat menyiapkan rancangan Mobnas generasi kedua yang dibantu oleh rumah desain Zagato asal Italia. Sayang, proyek ini terhenti karena krisis moneter 1998.
3. Bimantara
Sama seperti Timor, Bimantara adalah proyek mobil nasional yang digawangi oleh salah satu keluarga Cendana, yaitu Bambang Trihatmojo. Dalam menggalang proyeknya, Bambang menjalin kerja sama dengan Hyundai.
Di bawah bendera PT Citramobil Nasional, Bimantara berhasil meluncurkan beberapa mobil sedan dan truk. Salah satu mobil sedan tersebut dinamakan Bimantara Cakra yang mengambil basis Hyundai Accent generasi pertama.
Nasib proyek ini juga kandas pasca Asia terkena krisis ekonomi pada 1997/1998.
4. Beta 97 MPV
Inisiasi produksi mobil nasional bukan hanya dari oleh keluarga Cendana. Grup Bakrie melalui Bakrie Brother juga pernah menginisiasi proyek serupa melalui mobil Beta 97 MPV. Bahkan, proyek mereka lebih dulu dibanding proyek Maleo dan Timor.
Pada tahap awal, mereka bekerja sama dengan Shado, rumah desain asal Inggris. Desain mobil tersebut selesai pada April 1995. Desain tersebut kemudian terus dikembangkan sampai prototipe mobil ini selesai pada 1997.
Sama seperti proyek-proyek lainnya, Beta 97 MPV juga gagal terealisasikan karena hantaman krisis ekonomi.
5. Gang Car
Calon mobil nasional lainnya adalah Gang Car yang diproduksi oleh perusahaan pembuat pesawat terbang, PT Dirgantara Indonesia (DI). Mobil bermesin 125-200 cc ini berdesain lucu dengan kapasitas hanya dua orang.
Agak sedikit berbeda dengan mobil-mobil sebelumnya, Gang Car baru berhenti berproduksi sejak 2003 karena adanya krisis di tubuh perusahaan. PT DI bahkan mem-PHK lebih dari 9.000 pekerjanya.
Sulitnya Proyek Mobil Nasional
Pada tahun 2015 silam, produsen mobil asal Malaysia, Proton Holdings Berhard menandatangani kerja sama dengan perusahaan milik begawan intel Hendropriyono, disaksikan langsung Presiden Joko Widodo. Kerja sama ini disebut-sebut sebagai cikal bakal untuk mobil nasional.
Kabar ini menuai pro kontra di tanah air. Hujan kritik mewarnai wacana ini. Pemerintah pun membela diri dengan menyebut bahwa proyek ini murni kerja sama bisnis, tanpa campur tangan pemerintah.
Dilansir Merdeka.com, Wakil Presiden Jusuf Kalla ikut angkat bicara. Dalam pandangannya, proyek mobil nasional tidak semudah membalik telapak tangan. Terbukti, beberapa waktu lalu sempat muncul rencana pengembangan mobil nasional mulai dari Timor, Esemka, bahkan mobil listrik. Dari contoh itu, kata JK sapaan akrabnya, bukti bahwa pengembangan mobnas di Indonesia tidak mudah.
"Itu kan tidak mudah, seperti yang kita bilang tadi. Banyak orang berminat. Kalau kita bikin mobnas sekarang, harus menjamin sparepart-nya bertahan 20 tahun, sanggup nggak? Kalau perusahaannya baru, mana sanggup. Bikin mobil sekarang 20 tahun terus menerus harus jamin pemeliharaannya, sparepart-nya, tidak semua orang bisa. Itulah industri mobil," tegas JK di Batam, Senin (9/2/2015).
Pun demikian dengan kelangsungan proyek bisnis mobil di dalam negeri. Kedua perusahaan harus memperhitungkan aspek bisnis yang akan dikembangkan, termasuk persaingan dengan merek-merek mobil lain yang sudah berkembang di Indonesia.
"Bisnis mobil itu bisnis jangka panjang, bisnis padat modal, bisnis padat teknologi, dan harus siap jangka panjang. Memang bisnis itu tidak mudah. Dalam kondisi persaingan yang ketat seperti ini, bisnis baru tidak mudah masuk. Tapi sebagai pengusaha tentu kita hargai," papar JK.
JK berbagi cerita soal pengalamannya di bisnis mobil selama 40 tahun. Industri mobil terus berkembang, tidak hanya dari sisi teknologi, tetapi juga dari sisi model. Dengan persaingan yang semakin ketat, tidak mudah untuk bertahan di industri otomotif, apalagi membuat mobil nasional.
"Tidak mudah sama sekali. Tak segampang itu, karena itu gagal demi gagal karena jangka panjang. Tidak semua orang siap jangka panjang. Tiap tahun berubah model, kalau produksinya sedikit tak bisa itu," tutur JK.
Kerja Sama Tak Berlanjut
Kerja sama tersebut rupanya tak bertahan lama seperti dilansir Liputan6.com pada September 2016, Hendropriyono mengungkapkan, kerja sama dalam bentuk nota kesepahaman tersebut kini tidak lagi berjalan. Salah satu alasannya, kondisi politik di Malaysia sebagai negara asal Proton, tidak mendukung keberlanjutan kerja sama tersebut.
"Kita ini dagang dan lain-lain kehidupan di semua sektor, kita tergantung juga politik. Karena politik Malaysia membuat Proton jalan di tempat," ujar dia di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Sudirman, Jakarta, Rabu (21/9/2016). Ia datang untuk ikut berpartisipasi dalam program tax amnesty.
Selain itu, lanjut Hendro, saat ini penjualan produk Proton di negaranya sendiri juga tidak berkembang dengan baik. Maka atas dasar itu kedua belah pihak memutuskan untuk tidak melanjutkan kerja sama ini.
"Masa jalan di tempat saya terusin? Jadi saya nggak terusin dengan Proton. Karena masalah politik dalam negerinya, Proton kan nggak berkembang juga. Jadi kalau gembel jangan bergaul dengan yang kere, kapan kayanya," kata dia.
Meski demikian, kata Hendro, dirinya tetap menjadi hubungan yang baik dengan pihak Proton. Dengan demikian ke depannya diharapkan kedua belah pihak bisa menjalin kerja sama dalam bidang lain.
"Kita saling menasehati saja. Ini kan baru MoU, belum agreement. Kalau MoU kan saling mengerti," tandas dia.
Advertisement
LCGC Bukan Mobil Nasional
Di tahun 2015, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menggelar rapat di Kantor Presiden membahas beberapa hal, salah satunya yaitu soal mobil nasional (mobnas).
Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Ansari Bukhari mengatakan, dalam pembahasan mobnas ini, pemerintah akan mengacu pada porsi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) suatu produk kendaraan roda empat tersebut.
"Jika mobnas, kami mengacunya besarnya TKDN yang ada di mobilnya, bukan mereknya," ujar Ansari di Kantor Kemenperin, Jakarta, Rabu (25/2/2015).
Ansari mencontohkan, sebenarnya produk mobil murah dan ramah lingkungan atau Low Cost and Green Car (LCGC) sudah bisa disebut sebagai mobnas karena TKDN-nya bisa menyentuh 80 persen. Hal ini juga didorong oleh insentif khusus.
"Apabila tidak ada ada insentif, maka aturan TKDN bagi komponennya harus 40 persen. Namun, produk LCGC belum bisa disebut mobnas karena ada kesepakatan yang harus dibicarakan antara pemerintah dengan prinsipal," kata dia.
Selain itu, produk Toyota Kijang Innova sebenarnya juga bisa dikategorikan sebagai mobnas, tetapi harus melalui roadmap pemerintah terlebih dahulu.
"Produk Toyota Kijang Innova sudah memakai komponen dengan TKDN hingga 80 persen, tetapi belum bisa disebut sebagai mobnas karena harus dibuat roadmap terlebih dahulu," tandasnya.
3 Kriteria Mobil Nasional yang Ideal untuk Indonesia
Di balik segala polemik yang berkembang tentang Esemka dan proyek mobil nasional, pengamat otomotif Mizan Allan de Neve mengungkapkan kriteria khusus untuk sebuah mobil nasional. Kriteria mobil nasional menurutnya harus bisa memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia pada umumnya.
Setidaknya ada tiga kriteria yang harus bisa dipenuhi oleh mobil nasional, yang pertama adalah memenuhi kebutuhan agrobisnis, setelah itu harga terjangkau, dan yang terakhir aftersales. "Dari segi aftersales, sebaiknya mobil mudah diperbaiki dengan intelektual yang tidak terlalu tinggi," ungkap Mizan saat dihubungi Liputan6.com.
Mizan pun mencontohkan beberapa mobil nasional yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. "Negara lain yang bagus adalah Inggris dengan Land Rover. Setelah perang, mobil Land Rover khususnya mengakomodasi pertanian. Contoh lainnya Malaysia. Mobil penumpang Proton ditawarkan dengan harga lebih murah dibanding kompetitor, dan masyarakat Malaysia tertarik beli Proton," jelas pria lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Mizan pun mencontohkan mobil yang memenuhi kriteria kebutuhan agrobisnis, namun belum memenuhi unsur keselamatan. "Mobil tersebut adalah Grandong yang populasinya berada di angka 60.000 - 75.000. Harganya pun relatif terjangkau, di kisaran Rp37 juta hingga 50 juta. Mobil yang populer di Pasuruan, Jawa Timur ini dinilai dapat memenuhi kebutuhan agrobisnis," sambung Mizan. Contoh lain yang disebutkannya adalah AMMDES.
Selain untuk kebutuhan agrobisnis, mobil nasional juga bisa digunakan kebutuhan agrowisata, khususnya pantai. "Agrowisata ini potensinya besar, misalkan saja VW Safari banyak digunakan di Bali. Kebutuhan ini luar biasa, mobil pantai khusus untuk tourism. Panjang pantai di Indonesia mencapai puluhan ribu km," jelas Mizan.
Mizan pun menambahkan, hal yang tak kalah penting untuk membuat mobil nasional adalah APQP. " APQP adalah Advanced Product Quality Planning, ini adalah tahapan pembuatan mobil modern yang diterapkan hampir oleh semua merek mobil. Tahapan ini juga merupakan standar internasional," pungkas Mizan.
Advertisement