Liputan6.com, Naypyidaw - Tanah bekas berdirinya rumah etnis Rohingya yang dihancurkan sejak Agustus 2017 dilaporkan kini telah beralih fungsi. Pemerintah Myanmar kabarnya mulai mendirikan fasilitas negara di sana --menurut laporan BBC di Negara Bagian Rakhine, Burma.
Fasilitas pemerintah itu juga termasuk kamp-kamp relokasi -- sebuah "rumah baru" bagi pengungsi Rohingya yang akan dipulangkan dari pengungsian di Cox's Bazaar, Bangladesh ke Rakhine.
Advertisement
Narasi tentang penghancuran desa-desa Rohingya marak bermunculan sejak gelombang kekerasan terbaru di Rakhine pada Agustus 2019. Pada peristiwa itu, lebih dari 700.000 Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Cox's Bazaar, Bangladesh yang bertetangga, selama operasi militer yang oleh Naypyidaw ditujukan untuk memberangus "kelompok militan Arakan".
Namun, sejumlah laporan menunjukkan bahwa operasi militer itu menimbulkan banyak korban sipil. Aparat, bersama warga sipil pro-militer, juga dilaporkan menghancurkan desa-desa Rohingya yang ditinggalkan.
Pejabat Myanmar telah lama membantah bahwa aparat menghancurkan rumah Rohingya, termasuk membangun fasilitas pemerintah baru di tanah-tanah yang dimaksud.
Namun, pernyataan itu kontradiktif dengan laporan lembaga-lembaga swadaya hak asasi manusia. Beberapa bulan lalu, Australian Strategic Policy Institute merilis analisis citra data satelit yang memperkirakan bahwa setidaknya 40% dari desa Rohingya yang dirusak selama gelombang kekerasan Agustus 2017 telah hancur atau rata dengan tanah.
PBB menggambarkannya gelombang kekerasan Agustus 2017 sebagai "contoh seperti di buku teks tentang pembersihan etnis". Myanmar (juga disebut Burma) membantah pembunuhan besar-besaran oleh pasukannya.
Simak video pilihan berikut:
Temuan Terbaru
Peliputan BBC di Hla Poe Kaung, Rakhine, melaporkan bahwa tanah yang dulunya merupakan tempat berdiri rumah Rohingya telah berubah menjadi sebuah "kamp transit" yang dikelola pemerintah untuk menampung sementara 25.000 pengungsi yang kembali dari Cox's Bazaar.
Para Rohingya direncanakan hanya akan tingal selama dua bulan, sebelum pindah ke permukiman permanen yang disediakan Myanmar dan turut dikelola pemerintah.
Kamp, yang selesai hampir setahun yang lalu, dalam kondisi buruk; toilet umum telah berantakan. Itu dibangun di situs dua desa Rohingya, Haw Ri Tu Lar dan Thar Zay Kone, yang juga dihancurkan setelah kekerasan 2017.
Myanmar juga dikabarkan telah membangun kamp permukiman permanen di Kyein Chaung, di mana rumah-rumah telah dibangun dengan dana pemerintah Jepang dan India sebagai akomodasi jangka panjang untuk pengungsi yang kembali.
Tetapi, lokasi itu dulu merupakan sebuah desa Rohingya bernama Myar Zin. Desa itu, beserta isinya, diduga telah dibuldoser untuk membersihkan lahan untuk kamp Kyein Chaung yang baru.
Kyein Chaung juga berdekatan dengan barak besar baru untuk Polisi Penjaga Perbatasan Myanmar --unit aparat yang dituduh turut berpartisipasi dalam gelombang kekerasan di Rakhine Agustus 2017.
Temuan serupa juga dilaporkan BBC di wilayah seperti Myo Thu Gyi dan Inn Din, di mana fasilitas baru milik pemerintah berdiri di atas lahan bekas rumah-rumah Rohingya.
Advertisement
Upaya Pemulangan Kembali Menuai Penolakan
Laporan terbaru BBC terjadi di tengah proses upaya repatriasi (pemulangan kembali pengungsi) Rohingya dari pengungsian di Cox's Bazaar, Bangladesh, yang tersendat.
Pengungsi Rohingya menolak dipulangkan jika Myanmar tak memberikan jaminan pemenuhan hak mendasar (seperti status kewarganegaraan yang telah lama disangkal oleh Myanmar) hingga jaminan keamanan.
Bulan lalu, upaya kedua untuk mulai memulangkan pengungsi Rohingya gagal, setelah tak satu pun dari 3.450 orang yang disetujui oleh Myanmar untuk kembali setuju untuk melakukannya. Mereka mengutip kurangnya akuntabilitas atas kekejaman yang dilakukan pada 2017, dan ketidakpastian apakah mereka akan mendapatkan kebebasan bergerak atau kewarganegaraan.
Myanmar menyalahkan Bangladesh, dan mengatakan siap menerima sejumlah besar pengungsi yang kembali.
Tetapi, para pejabat tinggi Myanmar masih mengidentifikasi orang Rohingya sebagai orang Bengali --sebuah pendeskripsian diskriminatif yang telah lama mengakar di kalangan pemerintahan Myanmar.
Sebutan itu mengidentifikasi orang Rohingya sebagai etnis imigran ilegal dari wilayah Bengal selama 70 tahun terakhir. Namun, banyak aktivis dan pakar geneolog etnis menyebut bahwa Rohingya merupakan salah satu penduduk asli Burma.
Penyebutan Bengali yang masih lestari adalah satu faktor yang memicu ketidakpercayaan pengungsi Rohingya untuk kembali. Alih-alih mendapat hak atas status kewarganegaraan, mereka justru cemas akan kembali diperlakukan secara diskriminatif.
Di sisi lain, Myanmar bersedia memberikan apa yang disebutnya sebagai Kartu Verifikasi Nasional, yang dikatakan bisa menjadi langkah menuju kewarganegaraan. Tetapi kebanyakan orang Rohingya menolak kartu-kartu ini karena mereka akan diminta untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Bengali.