Liputan6.com, Cilacap - Tatkala mulai beroperasi 24 tahun silam, Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Tritih Lor, Cilacap, Jawa Tengah jauh dari permukiman penduduk. Tetapi, kini sebelah selatan dan barat TPST sudah diapit oleh perumahan.
Bahkan, akses jalan menuju TPST kini melalui perumahan yang begitu cepat berkembang dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Kondisi ini tentu saja cukup mengkhawatirkan. Sebabnya, sampah terus saja menggunung.
Sebanyak 120 ton sampah domestik masuk ke TPST Tritih Lor tiap hari tanpa jeda. Sementara, TPST ini hanya salah satu dari lima TPST Cilacap dengan total produksi sampah mencapai 350-400 ton per hari. Beroperasi sejak 1995, TPST ini menjadi tempat pembuangan sampah wilayah Cilacap kota dan sekitarnya.
Baca Juga
Advertisement
Pencemaran udara dan air adalah dampak pertama yang dirasakan warga. Dan itu nyaris terjadi di tiap daerah.
Namun, kekhawatiran dampak sampah di Cilacap yang terus menggunung itu tampaknya sebentar lagi bakal lenyap. Ini setelah Pemerintah Daerah (Pemda) Cilacap memastikan siap mengoperasikan sebuah instalasi canggih pengubah sampah menjadi material pengganti batu bara atau Refuse Derived Fuel (RDF) di Tritih Lor, Jeruklegi.
Pengolahan sampah dengan RDF diklaim ramah lingkungan, minim pencemaran dan mampu menjadi solusi jangka panjang penanganan sampah. Dan ini adalah fasilitas RDF pertama di Indonesia.
RDF merupakan hibah Kerajaan Denmark dengan nilai lebih dari Rp10 miliar. Operasional mesin pengolah sampah ini serba digital dengan kapasitas maksimal 600 ton per hari.
Fasilitas RDF dibangun dengan dana total mencapai Rp86 miliar dan merupakan kerja sama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian PUPR, Kedutaan Besar Denmark, Pemda Cilacap, dan pabrik semen PT Solusi Bangun Indonesia (SBI), atau yang sebelumnya bernama Holcim.
Proses Menyulap Sampah Jadi Batu Bara
Penanggung jawab operasional RDF Tritih Lor, Pujiono mengatakan tahapan yang dilakukan dalam proses pengolahan sampah sama sekali tidak melibatkan bahan kimia. Secara teknis, semua sampah akan masuk ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Tritih Lor dan ditimbang.
Sampah yang sebelumnya ditumpah di lapangan terbuka ditumpah di hanggar tertutup. Kemudian, akan dilakukan pemilahan. Pemulung tak kehilangan pekerjaan. Bedanya, mereka kini bekerja bukan di lapangan terbuka.
"Pemulung itu yang pertama memilah sampah. Termasuk sampah yang tidak bisa diproses, misalnya logam atau bahan keras lain," katanya, Rabu, 4 September 2019.
Sampah-sampah tersebut lantas masuk ke mesin pretreatment area atau pencacahan sampah. Selanjutnya, sampah yang sudah berupa material cacah kecil itu dikeringkan dengan proses biodrying atau pengeringan memanfaatkan bakteri.
Terakhir, sampah yang sudah dikeringkan masuk ke tahapan penyaringan. Pada proses penyaringan ini, material dipilah antara yang bisa dipakai sebagai bahan bakar pengganti batubara, inert, dan material yang tidak bisa digunakan lantaran mengandung banyak humus (reject).
Material produk bisa langsung digunakan sebagai bahan bakar, inert diproses kembali mulai pretreatment dan pengeringan, sedangkan material reject akan dikembalikan ke landfill atau pembuangan akhir.
Di tempat pembuangan akhir ini, sampah sudah lebih banyak mengandung humus sehingga bernilai ekologi. Pujiono mengklaim, RDF adalah model pemanfaatan sampah yang sangat bernilai.
Dia menerangkan, fasilitas RDF sudah diuji coba dengan hasil memuaskan. RDF yang menempati area seluas 1,6 hektare mampu mengolah sampah sebanyak 120 ton per hari. Nantinya, jika sampah bertambah, maka unit pengolahan akan diperluas dengan total lahan yang masih tersedia seluas enam hektare.
"Tidak ada kesulitan. Semua sudah siap dioperasikan," Pujiono berujar.
Advertisement
Pemkab Cilacap Tunggu BAST RDF dari KLHK
Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3 dan Peningkatan Kapasitas Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Cilacap, Hartono mengatakan Pemkab Cilacap menggandeng pabrik semen PT Solusi Bangun Indonesia (SBI) untuk memanfaatkan produk RDF.
Dalam hal ini, PT SBI akan menjadi pengguna atau pembeli produk akhir sebagai pengganti bahan bakar batubara. Dengan fasilitas RDF ini, sampah yang semula jadi masalah justru bisa jadi bernilai ekonomi.
"Dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif pengganti batu bara. Kapasitas yang sekarang kita operasional 120 ton per hari. Tapi, kita punya mesin, dalam kondisi optimal bisa 400 ton, dan bisa dimaksimalkan hingga 600 ton per hari," Hartono menjelaskan.
Ke depan, saat sudah dioperasionalkan, RDF juga akan menampung sampah dari TPST lainnya, seperti TPST Cilacap Timur, Sidareja, Majenang, dan Wanareja. Total sampah yang dihasilkan di seluruh Cilacap masih berkisar 350-400 ton per hari. Dengan demikian, baik sampah organik maupun anorganik akan bisa dimanfaatkan sebagai alternatif bahan bakar.
Dia mengemukakan, RDF ini rencananya diluncurkan pada 21 September 2019 mendatang. Namun, Pemkab Cilacap masih menunggu kepastian dari pemerintah pusat.
Pasalnya, hingga kini belum dilakukan Berita Acara Serah Terima (BAST) fasilitas RDF dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kepada Pemda Cilacap.
Hartono mengungkapkan, lantaran belum dilakukan BAST, Pemda tidak bisa melakukan berita acara pemanfaatan, tanda dimulainya operasional fasilitas RDF. Kendala lain belum diserahkannya BAST dari KLHK ini adalah Pemda tidak bisa membuat perjanjian kerja sama dengan pembeli atau pengguna produk RDF, PT SBI.
"Tinggal kita menunggu kapan serah terima itu dilakukan. Baru kita akan beroperasi full di TPA ini. (Perjanjian) belum kalau dengan Holcim. Karena kita dasarnya kerja sama itu kan harus ada BAST itu, yang menyatakan bahwa aset itu merupakan milik pemda," dia menerangkan.
Saksikan video pilihan berikut ini: