Liputan6.com, Jakarta Gelombang panas yang melanda Prancis di musim panas 2019 menyebabkan sekitar 1.500 orang meninggal dunia. Angka tersebut diungkap oleh Menteri Kesehatan Agnes Buzyn.
Namun, angka tersebut lebih rendah daripada gelombang panas yang terjadi Agustus 2003 lalu. Jumlah korban meninggal saat itu mencapai 15 ribu orang.
Advertisement
"Kematiannya 10 kali lebih sedikit daripada gelombang panas 2003," kata Buzyn seperti dilansir dari The Guardian pada Rabu (11/9/2019).
Mengutip BBC, gelombang pertama yang terjadi sejak 24 Juni hingga 7 Juli telah menewaskan 567 orang. Sementara, 868 lagi meninggal di gelombang panas kedua yang berlangsung 21 hingga 27 Juli.
Buzyn mengatakan bahwa angka kematian berkurang berkat tindakan pencegahan dan kesadaran publik itu sendiri.
Simak juga Video Menarik Berikut Ini
Membuka Kolam dan Taman untuk Mendinginkan Masyarakat
Beberapa di antara tindakan pencegahan adalah penutupan tempat-tempat umum dan sekolah untuk meminimalisir paparan panas hingga membuka taman serta kolam renang yang bisa digunakan masyarakat untuk 'tetap dingin.'
Otoritas setempat juga membuka layanan panggilan darurat serta mengatur 'ruang-ruang dingin' di gedung-gedung perkotaan.
Mengutip Independent, Buzyn mengatakan setidaknya ada lebih dari 1.465 orang yang meninggal selama musim panas. Selama bulan Juni dan Juli, gelombang panas melanda negara tersebut hingga 18 hari.
Suhu tertinggi tercatat melanda Verargues, bagian selatan Prancis. Angkanya mencapai 46 derajat celsius, sekaligus rekor suhu tertinggi yang pernah dilaporkan di negara tersebut.
Gelombang panas yang melanda beberapa negara dinilai disebabkan oleh perubahan iklim.
"Jika kita tidak mengambil tindakan terhadap perubahan iklim sekarang, peristiwa cuaca ekstrem ini hanyalah puncak gunung es dan memang, gunung es juga mencair dengan cepat," kata Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres.
Advertisement