Liputan6.com, Jakarta Dokter David Fajgenbaum masih menempuh pendidikan di sekolah kedokteran ketika didiagnosis penyakit kelenjar getah bening langka dan mematikan di 2010. Namun, hal tersebut memicunya untuk menemukan penyembuhnya sendiri.
David yang saat ini berusia 34 tahun waktu itu tiba-tiba jatuh sakit. Para dokter memberitahunya bahwa ginjal, hati, dan sumsum tulangnya tertutup karena sistem kekebalannya menyerang organ vital.
Advertisement
Dilansir dari New York Post pada Rabu (11/9/2019), tidak ada yang tahu apa penyebabnya. Beberapa menduga itu efek limfoma. David akhirnya dirawat tujuh minggu dan menerima steroid.
Empat minggu usai dipulangkan, penyakit tersebut kambuh. Terungkaplah bahwa dia mengalami penyakit idiopathic multicentric Castleman yang langka. Pengobatan yang diberikan oleh dokter saat itu tidak ada yang efektif.
"Saya semakin sakit dan mereka memberi tahu teman dan keluarga untuk mengucapkan selamat tinggal," kata ayah satu anak ini.
Simak Juga Video Menarik Berikut Ini
Sedikit Penelitian
Kemoterapi yang sempat menyembuhkannya pun tidak berhasil. Beberapa tahun kemudian, dia harus dilarikan ke rumah sakit lagi.
"Tidak ada obat dalam pengembangan dan sangat sedikit penelitian yang dilakukan," kata David yang saat ini menjadi assistant professor of medicine di University of Pennyslvania, kampus almamaternya.
Kondisi tersebut malah memotivasinya melakukan penelitian dan perawatan yang efektif untuk dirinya. Selama lebih dari tiga setengah tahun, dia bekerja sama dengan berbagai spesialis.
Advertisement
Lakukan Penelitian pada Dirinya Sendiri
David juga melakukan penelitian pada obat bernama Sirolimus. Obat ini berguna untuk mencegah penolakan organ pada pasien transplantasi ginjal yang belum pernah digunakan pada penyakit Castleman seperti dialami David.
"Sinyal tertentu dalam sampel saya, membuat saya berpikir obat ini yang menekan sistem kekebalan tubuh sehingga tidak menyerang dan menolak ginjal, mungkin bekerja," kata David.
Dengan mengajukan permintaan pada para dokternya, dia menjadi subjek untuk tesnya sendiri. Pada Februari 2014, dia menggunakan obat itu dan penyakitnya tak pernah kambuh lagi hingga saat ini.
"Saya merasa baik," ujar David yang baru merilis sebuah memoir berjudul "Chasing My Cure: A Doctor's Race to Turn Hope Into Action" itu.
"Saya merasa kembali ke diri lama saya."
Meskipun begitu, dia masih melakukan studi lanjutan pada obat tersebut agar bisa digunakan untuk orang lain. Penelitiannya sendiri telah dipublikasikan di Journal of Clinical Investigation di mana Fajgenbaum menjadi peneliti sekaligus subyek penelitian.