Liputan6.com, California - 66 juta tahun silam, Bumi mengalami hari yang sangat buruk. Asteroid raksasa sepanjang 81 kilometer (50 mil) menabrak sebuah wilayah pantai yang sekarang disebut Meksiko, dekat Chicxulub.
Ini merupakan sebuah peristiwa yang diduga memicu gelombang kepunahan massal di planet kita, yang menewaskan 75 persen dari semua kehidupan di Bumi, termasuk dinosaurus.
Sekarang, ahli geologi mengklaim berhasil merekonstruksi apa yang terjadi pada hari itu. Mereka menggali sebuah situs yang berada di bawah kawah Chicxulub untuk mengekstraksi sampel inti sedalam 500 hingga 1.300 meter.
Mereka menemukan batuan yang meleleh, arang, namun tidak ada belerang di dalam inti Bumi yang seharusnya menjadi penanda khas dari tubrukan dengan asteroid.
Baca Juga
Advertisement
"Ini adalah jejak dari peristiwa bersejarah yang dapat kami pulihkan dari dalam ground zero (titik di permukaan tanah tepat di bawah asteroid yang menghantam Bumi)," kata ahli geofisika Sean Gulick dari University of Texas, melansir Science Alert, Rabu (11/9/2019).
Dalam insiden itu, asteroid dikatakan mampu memicu tsunami yang menjulang beberapa ratus meter, melontarkan batu dan debu dengan kecepatan luar biasa --material diendapkan sedalam sekitar 130 meter hanya dalam waktu satu hari usai tabrakan.
Pertama, situs tersebut terbakar dan berubah menjadi kawasan berapi-api. Kemudian, seluruh planet membeku, memunculkan peristiwa kepunahan Cretaceous-Paleogene (kepunahan massal tiba-tiba sekitar tiga perempat spesies tumbuhan dan hewan di Bumi, terjadi pada 66 juta tahun lalu), yang menandai akhir periode Cretaceous dan musnahnya dinosaurus non-unggas.
"Tidak semua dinosaurus mati pada hari itu, meski ada beberapa yang mati," jelas Gulick.
Batuan yang meleleh mengindikasikan bahwa meteor itu menghantam dengan kekuatan 10 miliar bom atom, membuat hutan-hutan terbakar dengan jarak bentang ribuan kilometer, memicu tsunami yang mencapai sejauh Illinois saat ini.
Kemudian, ketika air tsunami surut, banyak material yang terseret ke kawah baru (cekungan bekas asteroid mendarat), termasuk kotoran (ditunjukkan oleh keberadaan biomarker yang terkait dengan jamur tanah) dan arang yang merupakan hasil dari pohon yang terbakar.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bukan Karena Tabrakan Asteroid, Melainkan Efek Belerang
Peristiwa di atas memiliki dampak dramatis pada ekosistem di dekatnya. Namun, apa yang tidak ditemukan oleh kebanyakan para peneliti di sana, yaitu tidak adanya mineral yang mengandung belerang.
Hal itu menunjukkan bahwa batuan di situs tersebut menguap akibat tabrakan, mengeluarkan aerosol sulfat dalam jumlah sangat besar ke atmosfer, di mana zat ini menghalangi cahaya matahari dan mendinginkan suhu Bumi selama bertahun-tahun setelahnya.
Menurut perhitungan para peneliti, sekitar 325 miliar metrik ton sulfur telah diudarakan karena dampak terkait. Kandungan sulfur ini empat kali lebih tinggi ketimbang yang dikeluarkan selama letusan Gunung Krakatau pada 1883, yang mendinginkan seluruh dunia selama lima tahun setelahnya.
Ilmuwan meyakini bahwa belerang tersebutlah yang menjadi pembunuh dinosaurus sebenarnya -- mungkin diperburuk oleh aktivitas vulkanik lain.
"Pemusnah sesungguhnya pasti adalah (udara) atmosfer. Satu-satunya cara agar kepunahan massal global seperti ini terjadi yaitu berasal dari efek atmosfer," Gulick menjabarkan.
Kini, penelitian Gulick dan timnya telah dipublikasikan di jurnal ilmuah PNAS.
Advertisement
Jumlah Asteroid yang Menabrak Bumi Meningkat Sejak Zaman Dinosaurus
Sementara itu, selama 290 juta tahun terakhir, jumlah asteroid yang menabrak Bumi dan Bulan disebut telah meningkat sebanyak tiga kali, menurut sebuah studi baru yang diterbitkan di jurnal Science pada Kamis 17 Januari 2019.
Meski terdengar seperti skala waktu yang panjang, itu adalah peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan 700 juta tahun sebelumnya. Temuan baru ini, menurut penulis jurnal, mengubah cara ilmuwan dalam meninjau kembali sejarah Bumi.
Selama beberapa dekade, para peneliti telah mencoba untuk menentukan tingkat dampak asteroid terhadap Bumi. Mereka mempelajari kawah tumbukan di Bumi dan usia bebatuan di sekitarnya. Akan tetapi, riset itu punya masalah terbesar: kawah hasil jatuhnya asteroid yang paling awal di Bumi telah hilang.
Sebelum studi itu ada, para periset percaya bahwa mereka tidak dapat menemukan kawah tumbukan tertua di Bumi karena erosi atau proses geologis lain yang menghapusnya dari permukaan tanah.
Bila dibandingkan dengan planet lain di tata surya, Bumi memiliki lebih sedikit kawah tumbukan yang lebih tua dari yang diperkirakan. Jadi, mereka memutuskan untuk mempelajari Bulan sebagai gantinya.
Analogi yang sempurna untuk Bumi, karena keduanya terkena dampak yang sama dari waktu ke waktu. Kawah tabrakan asteroid lebih terawetkan di Bulan, lantaran tidak mengalami proses gangguan yang sama seperti Bumi.
"Satu-satunya kendala untuk melakukan ini adalah menemukan cara yang akurat untuk melakukan penanggalan kawah besar di Bulan," William Bottke, rekan penulis studi dan pakar asteroid di Southwest Research Institute.
Penelitian di Bulan
Lunar Reconnaissance Orbiter NASA, yang memulai misinya mengelilingi Bulan pada satu dekade lalu, mengumpulkan data dan gambar termal yang dapat digunakan oleh para peneliti. Data termal menunjukkan besaran panas yang terpancar dari permukaan Bulan.
Batuan yang lebih besar mengeluarkan lebih banyak panas daripada regolith atau tanah halus di permukaan Bulan.
Rebecca Ghent, rekan penulis studi dan ahli planet di University of Toronto, menentukan tingkat di mana batu angkasa luar terurai menjadi tanah. Dia juga menemukan bahwa kawah yang lebih tua ditutupi oleh lebih sedikit batu dan kerikil daripada kawah yang lebih muda.
Itu karena meteorit kecil yang mengenai Bulan membantu untuk menghancurkan bebatuan dari waktu ke waktu.
Apa yang mereka temukan adalah kawah hasil tabrakan asteroid pertama di Bumi tidak hilang, melainkan memang tidak ada. Kawah tersebut pun tidak ada di Bulan.
"Bumi memiliki lebih sedikit kawah tua di daerah yang paling stabil. Bukan karena erosi, tetapi karena tingkat dampak tabrakannya lebih rendah sebelum 290 juta tahun yang lalu," ungkap Bottke.
"Bulan seperti kapsul waktu, membantu kita memahami Bumi. Kami menemukan bahwa Bulan memiliki sejarah tabrakan asteroid yang sama," pungkasnya.
Advertisement