Mengingat Tragedi Berdarah Tanjung Priok 35 Tahun Silam

Orang-orang pun bertumbangan. Teriakan takbir menggema. Husain Safe yang saat itu berada di barisan depan saat tragedi Tanjung Priok mengisahkan kejadian brutal itu.

oleh Muhammad Ali diperbarui 12 Sep 2019, 07:31 WIB
Ilustrasi darah. (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Babinsa Hermanu memasuki Musala As-Sa’adah, Tanjung Priok, Jakarta Utara, 8 September 1984. Dia yang mengenakan seragam lengkap keberatan dengan sebuah pamflet yang terpampang di musala itu yang dianggapnya mengandung unsur SARA.

Padahal, pamflet itu disebutkan hanya berisi pengumuman pengajian rutin biasa.

Dalam buku Tanjung Priok Berdarah Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Fakta dan Data, Gema Insasi Pres 1998, diceritakan Hermanu menyiramkan air selokan agar pamflet itu bisa terlepas dari papan pengumuman. Bahkan menurut kesaksian warga setempat, sang Babinsa itu masuk ke tempat ibadah tanpa melepaskan sepatunya.

Kejadian ini pun berbuntut panjang. Isunya menjadi pembicaraan warga setempat. Meski begitu, tak ada penyelesaian dari aparat keamanan.

Selanjutnya, pada 10 September 1984, jemaah As-Sa’adah bertemu Hermanu dan rekannya. Mereka terlibat perdebatan sengit hingga harus diselesaikan di Pos RW 05. Namun saat perundingan tengah berlangsung, tiba-tiba massa sudah berkumpul di depan pos dan berusaha menangkap Hermanu.

Gagal mendapatkan sang Babinsa, massa beringas dan merusak serta membakar sepeda motor Koramil. Imbasnya, empat orang ditangkap. Mereka adalah Syofwan, Syarifudin Rambe, Ahmad Sahi dan Mohammad Noor. Keempatnya dituduh membakar motor tersebut.

Agenda pengajian yang terpampang dalam pamflet akhirnya berlangsung, 12 September 1984. Ribuan jemaah berkumpul di lokasi acara, Jalan Sindang. Pengajian dihadiri Amir Biki serta diisi ustaz Syarifin Maloko, Salim Kadar, M Nasir, dan Ratono.

Pengajian yang dimulai pukul 20.00 WIB itu berujung memanas. Masyarakat masih tak puas dengan penyelesaian kejadian di As-Sa’adah. Amir Biki yang diminta berbicara di atas panggung mengultimatum aparat agar melepaskan empat jemaah yang ditangkap.

“Kita tunggu sampai jam 23.00 WIB, apabila keempat orang ini tidak dibebaskan, kita semua ke Kodim! Malam ini akan ada banjir darah. Karena saya tahu moncong senjata TNI telah diarahkan ke kepala saya!” ucap Amir Biki, seperti dikutip dari buku Mereka Bilang Di Sini Tidak Ada Tuhan: Suara Korban Tragedi Priok karya Subhan dan Gunawan, F.X. Rudy.

Amir Biki berhenti sejenak. Dia lantas melanjutkan ucapannya, “Apabila saya meninggal malam ini, saya minta kepada jamaah untuk mengusung jenazah saya keliling Jakarta!” Amir Biki juga mengingatkan, “Jangan mengecewakan saya, saya peringatkan bahwa yang membuat kegaduhan itu bukan jamaah kita,” serunya.

Selanjutnya, Amir Biki memimpin massa menuju Kodim. Di jalan mereka bertakbir, sambil membawa bendera hijau bertuliskan kalimat Tauhid. Tidak ada aksi anarkis sepanjang jalan.

Namun belum tiba Kodim, persis di depan gereja samping Mapolres Jakarta Utara, massa terhenti. Mereka dihadang aparat tentara, yang jumlahnya belasan orang. Barisan massa di depan berhenti, namun mereka terdesak untuk maju oleh massa yang ada di belakang.

Saat rombongan di depan barisan berusaha menahan massa agar berhenti, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan. Massa panik dan berhamburan. Tembakan kemudian terus menyusul, senapan menyalak menghujani massa, tanpa henti 10 hingga 15 menit.

 


Jumlah Korban Simpang Siur

Ilustrasi Foto Penembakan (iStockphoto)

Orang-orang pun bertumbangan. Teriakan takbir menggema. Husain Safe yang saat itu berada di barisan depan mengisahkan kejadian brutal tersebut.

“Detik-detik berlalu begitu mencekam. Tak lama kemudian aparat yang menembak bergerak mundur agak jauh dari saya sambil terus menembak. Mereka mencoba melihat lebih jauh ke belakang, ke arah rombongan lain yang menuju kami. Ternyata itu adalah rombongan Amir Biki. Saya dengar ada yang berteriak bahwa itu adalah Amir Biki. Disusul lagi teriakan dari anggota pasukan lainnya, 'Habisi saja!',” kisah dia.

Amir Biki pun tumbang. Begitu pula massa lainnya. Mayat-mayat bergelimpangan di antara orang-orang yang terkapar terluka, di jalan dan di selokan. Tentara terus memburu massa dalam kegelapan akibat lampu dimatikan secara serentak.

Kejadian ini pun diaminkan oleh ulama dan tokoh Tanjung Priok, Abdul Qadir Djaelani saat bersaksi di pengadilan.

AM Fatwa yang juga saksi kejadian menulis dalam buku Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok. Dia mengungkapkan, tidak ada data pasti korban tewas, luka-luka, maupun hilang dalam tragedi ini. Karena pemerintahan Orde Baru menutupi fakta yang sebenarnya.

"Panglima ABRI saat itu, L.B. Moerdani, mengatakan bahwa 18 orang tewas dan 53 orang luka-luka dalam insiden tersebut," tulis A.M. Fatwa.

Namun data Panglima ABRI itu berbeda dengan fakta Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok (Sontak) yang juga didukung kesaksian Djaelani. Dalam datanya, disebutkan tidak kurang dari 400 orang tewas dalam tragedi berdarah itu, belum termasuk yang luka dan hilang.

Kejadian ini mendapatkan respons biasa saja dari Presiden RI kala itu, Soeharto. Dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, dia menyebut peristiwa Tanjung Priok adalah hasil hasutan sejumlah pemimpin di sana.

"Melaksanakan keyakinan dan syariat agama tentu saja boleh. Tetapi kenyataannya ia mengacau dan menghasut rakyat untuk memberontak, menuntut dikeluarkannya orang yang ditahan. Terhadap yang melanggar hukum, ya tentunya harus diambil tindakan.” ucap Soeharto.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya