Liputan6.com, Jakarta - Negara merupakan rumah bagi seluruh rakyatnya, termasuk bagi kaum difabel atau disabilitas. Sudah seharusnya, negara dapat menciptAkan rasa aman, nyaman, damai, maupun jaminan terhadap keberlangsungan hidup setiap warganya.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka harusnya tidak boleh ada diskriminasi kepada seseorang atau pun suatu kelompok, seperti dikutip dari www.newsdifabel.com, Rabu (11/9/2019).
Advertisement
Difabel menjadi salah satu contoh masyarakat minoritas. Meski begitu, keberadaan difabel di suatu negara haruslah dijamin keberlangsungan hidupnya.
Namun nampaknya, peran negara masih sangat jauh dalam memahami kebutuhan apa saja yang perlu dipenuhi untuk para difabel.
Hal ini diungkapkan oleh Cucu Saidah yang mendapatkan gelar magisternya di Flinders University, Australia. Menurutnya, para penyadang disabilitas masih belum mendapatkan hak-hak dasar mereka ,termasuk dalam hal mobilitas, akses pekerjaan yang layak, akses pendidikan, hak berwisata, hingga perlindungan hukum.
"Pertama, hak mobilitas maksudnya,menjamin ruang gerak para difabel ketika mereka beraktivitas di luar rumah, di antaranya ialah trotoar yang aksesibel bagi seluruh penyandang difabel," ujar Cucu Saidah.
Selain itu, lanjut dia, akses di tempat-tempat publik seperti perkantoran, pusat perbelanjaan, tempat pariwisata, dan tempat angkut umum yang belum ramah bagi seluruh penyandang difabel atau disabilitas.
"Kita bisa memulai analisa sederhana dengan merasakan masihbanyak trotoar yang tidakramah terhadap difabel. Tidak sedikit trotoar yang bolong-bolong, tanpa ada guiding block. Selain itu, kesadaran warga untuk tertib lalu lintas juga mempengaruhi kenyamanan difabel," papar Saidah.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Diskriminasi Stuktural
Tak hanya itu, menurut Cucu Saidah, para penyandang disabilitas juga masih mendapat diskriminasi stuktural yang dilakukan di setiap instansi, baik negeri maupun swasta.
"Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menjamin hak dan kesempatan bagi kelompok difabel untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi, namun diskriminasi struktural masih dialami kelompok difabel hingga kini," ungkapnya.
Menurutnya, salah satu contoh konkret diskriminasi yang sering kali diabaikan adalah adanya prasyarat sehat jasmani dan rohani, baik untuk melamar pekerjaan ataupun pendaftar di institusi pendidikan. Begitu pula saat melamar pekerjaan.
"Ketika melamar pekerjaan, syarat tersebut masih sering dicantumkan di nomor pertama sehingga langsung mendiskreditkan kualifikasi-kualifikasi lain, seperti tingkat pendidikan, kemampuan-kemampuan, dan pengalaman kerja yang sebenarnya kita miliki. Mayoritas perguruan tinggi saat ini pun masih mencantumkan syarat tersebut, sehingga pilihan sangatlah terbatas," kata Cucu Saidah.
Tetapi, lanjut dia, berbeda dalam bidang pendidikan Penyandang difabel kini dapat mengenyam pendidikan di sekolah umum dan tidak hanya di Sekolah Luar Biasa (SLB).
Sekolah inklusif, menurutnya, menunjukkan komitmen pemerintah maupun pihak sekolah untuk menjamin pendidikan dasar bagi penyandang difabel.
"Komitmen tersebut harus dibarengi dengan peningkatan kesadaran dan kepekaan sosial di lingkungan sekolah sehingga metode pengajaran, perilaku murid-murid, perlakuan guru, kepala sekolah, hingga orang tua murid harus turut menunjang individu penyandang difabel," tutur Cucu Saidah.
Advertisement
Hak Hukum dan Hak Konsumen
Hal ketiga menurut Cucu Saidah adalah hak hukum dan hak konsumen yang juga merupakan bentuk diskriminasi masyarakat difabel.
Yaitu, kurangnya perlindungan hukum karena pengetahuan aparat penegak hukum yang minim terhadap hak-hak difabel.
Selain itu, masalah mengenai penanganan kasus kekerasan seksual. Dalam hal ini, isu pemenuhan hak konsumen menjadi salah satu isu utama pada kelompok difabel.
"Indonesia kini telah memiliki kebijakan yang menjamin hak konsumen, termasuk akses penyandang difabel ketika menggunakan fasilitas publik, seperti restoran, kafe, lokasi wisata, dan lain sebagainya," ucap Cucu Saidah.
Di negara lain, menurut dia, penegakan ini sangat tegas.
"Ketika ditemui restoran yang tidak ramah difabel, dengan kondisi lantai yang tidak memungkinkan bagi kelompok difabel untuk masuk maka, restoran tersebut bisa langsung dituntut dan ditutup. Indonesia seharusnya memiliki peraturan ini juga, tapi sayangnya penegakannya tidak tegas," pungkasnya.
(Desti Gusrina)