Liputan6.com, Jakarta - Setiap manusia yang lahir ke dunia dilahirkan dalam kondisi yang sama. Sama-Sama diciptakan oleh Tuhan,sama-sama terlahir dari perut seorang ibu, dan sama-sama memiliki hak untuk hidup, termasuk juga para difabel atau disabilitas.
Tuhan menciptakan manusia dengan kondisi yang sempurna, memiliki akal yang digunakan berfikir. Kemampuan berfikir inilah yang menjadi dasar bagi manusia untuk dapat menjalankan perintah Tuhan dalam hal menuntut ilmu melewati suatu proses pendidikan.
Advertisement
Dikutip dari www.newsdifabel.com, Rabu (11/9/2019), proses pendidikan sebenarnya dimulai ketika seorang manusia dilahirkan. Pendidikan ini berawal didapat dari lingkungan keluarga, di mana, seorang anak dididik oleh ibu dan bapaknya.
Menginjak usia sekolah, anak mulai dimasukkan ke jenjang pendidikan formal agar memperoleh cukup ilmu pengetahuan yang dapat menyosong masa depannya. Lalu, bagaimana anak penyandang disabilitas itu dapat memperoleh pendidikan formal?
Untuk anak-anak dengan disabilitas, sejak dulu sudah berdiri sebuah sekolah khusus yang memang diperuntukkan untuk memberikan pendidikan bagi mereka.
Sekolah itu di diberi nama Sekolah Luar Biasa yang di dalamnya meliputi SDLB, SMPLB, dan SMALB dengan kekhususan yang berbeda-beda.
Namun, jika anak penyandang disabilitas sudah memiliki kemampuan yang memadai untuk belajar bersama dengan teman-temanya yang non-disabilitas, maka sebaiknya anak penyandang disabilitas disekolahkan di sekolah regular melalui program inklusi.
Dengan disekolahkan di sekolah regular, anak penyandang disabilitas diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat sesungguhnya dan mampu bersaing secara akademis dengan anak lain yang non-disabilitas.
Tetapi, perlukah penyadang disabilitas mengenyam pendidikan tinggi?
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Perlukah Mengeyam Pendidikan Tinggi?
Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, banyak orangtua dari penyandang disabilitas yang binggung akan nasib anaknya.
Tidak seperti orangtua yang memiliki anak non-disabilitas, mereka semangat mendorong anaknya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan tinggi. Meski begitu, ada juga orangtua yang memilih meminta anaknya untuk langsung mendaftar kerja.
Yang membuat orangtua dari anak penyandang disabilitas bingung adalah kurangnya keterampilan yang dimiliki anaknya, lapangan kerja yang menolak adanya disabilitas, rasa takut menyekolahkan anaknya di perguruan tingi, dan masalah ekonomi. Akhirnya banyak dari mereka yang membiarkan anaknya putus sekolah dan kehilangan masa depan.
Kasus seperti ini banyak kita jumpai dalam kehidupan. Kurangnya informasi yang dimiliki orangtua, menimbulkan cara pandang mereka lebih ke arah pesimis dan negatif terhadap nasib anaknya sendiri. Mereka lupa bahwa Tuhan sudah menjamin rezeki untuk setiap manusia dengan adil.
Seiring dengan perkembangan zaman beserta ilmu pengetahuan pendidikan tidak cukup berhenti sampai jenjang menengah saja.
Perlu dilanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi agar pengetahuan manusia berkembang optimal. Para penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan tinggi.
Pemerintah juga sudah menetapkan peraturan yang mengatur bahwa para penyandang disabilitas berhak melanjutkan pendidikannya setinggi mungkin, sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 8 tahun 2016 dan Permenristekdikti Nomor 46 tahun 2017.
Hal ini perlu disambut baik khususnya oleh penyandang disabilitas sendiri dan tidak menyia-nyiakan kesempatan emas yang sudah diperjuangkan oleh berbagai pihak ini.
Dengan disabilitas menempuh pendidikan setinggi mungkin, nantinya lapangan pekerjaan juga akan semakin terbuka dengan sendirinya.
Saat ini memang sudah diatur dalam UU Nomor 8 2016 bahwa perusahaan swasta berhak menyediakan 1 persen dari total karyawannya untuk penyandang disabilitas, sedangkan perusahaan milik Negara wajib mempekerjakan 2 persen pegawainya.
Namun faktanya banyak perusahaan yang masih melakukan penolakan dengan alasan ijazah dan lain-lain. Oleh karena itu, disabilitas perlu mengenyam pendidikan tinggi agar memiliki kesetaraan dengan mereka yang bukan disabilitas. Dan Negara wajib menyediakan, dan mengelola infrastruktur yang ramah bagi disabilitas.
(Desti Gusrina)
Advertisement