Potret Capim KPK: Setuju SP 3 hingga Kritik Wadah Pegawai

Rata-rata lima calon setuju KPK memiliki wewenang SP3 atau surat perintah penghentian penyidikan

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Sep 2019, 12:15 WIB
Pekerja membersihkan debu yang menempel pada tembok dan logo KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/11). Pemerintahan Provinsi Papua mendapat skor terendah yaitu 52,91. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - Bagaimana ide, gagasan, serta konsep para calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kelak, masih belum tergambar jelas. Namun, dari beberapa capim yang menjalani tes uji kelayakan atau fit and proper test, Rabu (12/9/2019) di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat. tersirat sikap mereka bila kelak memimpinan lembaga antirasuah tersebut.

Capim Nawawi Setuju KPK Miliki SP3

Calon pimpinan KPK Nawawi Pomolango memberikan pandangan terkait revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Nawawi menilai ada pasal yang disetujui dan tidak.

Nawawi sepakat untuk memberikan KPK kewenangan menghentikan kasus atau mengeluarkan surat penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3). "Oke saya setuju, yang saya setuju soal SP3," ujar Nawawi dalam uji kelayakan dan kepatutan Capim KPK bersama Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (11/9).

Hakim yang bercokol selama 30 tahun ini berkaca pada pengalamannya. Dia mengaku pernah menyidangkan suatu kasus korupsi. Seorang ibu, dari saksi sampai menjadi tersangka. Hingga dia pindah empat kali Pengadilan, dia bertemu kembali ibu tersebut, tapi kasusnya belum naik ke persidangan.

Lantas, dia mengutip pernyataan mantan komisioner KPK Indriyanto Seno Aji dan ahli hukum Romli Atmasasmita. Bahwa filosofi tidak adanya SP3 hanya menjadi pembeda KPK dengan lembaga penegak hukum lain. Padahal, kata dia kalau merujuk kepada KUHAP, SP3 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum.

"Filosofinya ini berirama dengan asas kepastian hukum. Seseorang harus diberikan asas kepastian hukum, keadilan dan kepatutan hukum. Jangan gantung (status) orang dia sampai mati," ucap Nawawi.

Dia juga setuju dengan poin penyadapan. Bahwa, penyadapan dilakukan oleh KPK harus diawasi dan tidak bisa asal sadap. Salah satunya dia contohkan adalah saat menyidangkan kasus korupsi impor sapi, rekaman terdakwa Fathanah saat itu sampai merekam percakapannya menggoda wanita. Kata Nawawi hal tersebut tidak relevan dengan pembuktian tindak pidana korupsi.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Dewan Pengawas dan Penyadapan

Lebih lanjut, dia setuju adanya dewan pengawas KPK. Tugas dewan pengawas salah satunya memberikan izin penyadapan. Menurut Nawawi, dewan pengawas bukan barang baru dalam penegakan hukum.

"Dewan apa itu its oke. Pengawasan baru bukan barang baru di pengadilan," ucapnya.

Nawawi menolak satu hal dalam revisi UU KPK. Menurutnya, tidak perlu KPK melakukan kordinasi dengan kejaksaan agung. Hal itu menurutnya dapat mengurangi independensi KPK.

"Ada lain tidak bisa. Misal penuntutan kordinasi dengan kejagung ini pikir-pikir dulu. Bagaimana independensi KPK kalau harus kordinasi dengan kejaksaan agung," ucapnya.


Capim Sigit Kritik Wadah Pegawai KPK

Calon pimpinan KPK Sigit Danang Joyo menilai Wadah Pegawai KPK seharusnya tidak secara leluasa mengungkap ruang internal ke pihak luar. Hal itu menjawab pertanyaan anggota Komisi III Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu terkait friksi internal KPK.

"Apakah sodara membolehkan langkah politik dalam lembaga WP KPK, bukan lagi wadah pegawai, tapi wadah politik. Punya keberanian ga menata itu?" Kata Masinton dalam uji kelayakan dan kepatutan Capim KPK, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (11/9).

Menjawab pertanyaan itu, Sigit mengaku hanya mengetahui masalah internal di KPK dari media. Menurutnya, masalah organisasi harus diurus di internal.

"Saya mengkritisinya adalah memang seyogyanya organisasi ataupun perkumpulan apapun yang ada di dalam unit kpk memang harus diatur secara internal. Tidak bisa itu kemudian itu diberikan ruang, sehingga ruang tadi dia bisa mengungkapkan secara leluasa ke media," ujar Sigit.

Dia menilai kondisi KPK saat ini seperti ada ketidaksinkronan antara pegawai dengan pimpinan KPK.

"Sehingga yang saya tangkap adalah seolah olah antara pegawai dan pimpinan ini tidak sinkron. Ketika orang menganggap antara pegawai dan pimpinan KPK enggak singkron maka logika pertama pasti ada masalah yang mesti harus dibenahi," kata Sigit.

Dia mengaku bakal menertibkan masalah tersebut apabila terpilih menjadi pimpinan KPK. Kata dia, kalau organisasi yang baik harus satu kata yang sama keluar ke pihak luar.

"Bagi saya memang ini harus ditertibkan, mengenai masalah pola relasi hubungan antara pimpinan dengan bawahan, dengan pegawai, termasuk pola komunikasi ke luar institusi KPK," jelas Sigit.


KPK Superbody, Pengawasan Harus Kuat

Calon pimpinan KPK Sigit Danang Joyo menyampaikan sikapnya terkait revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dalam uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III. Sigit sepakat KPK diberikan kewenangan untuk memberhentikan kasus dan dibentuk dewan pengawas.

Terkait surat perintah penghentian penyidikan (SP3), Sigit memandang bahwa kewenangan itu awalnya tidak ada supaya penyidik KPK hati-hati dalam menetapkan tersangka. Namun, kalau tidak dibuka ruang, menurutnya penyidik tidak bisa memperbaiki kesalahannya.

"Posisi saya. Buka ruang SP3, tapi harus ketat. Takutnya ada penyidik yang minim alat bukti lalu dengan mudah meletakkan tersangka, sudahlah kita tetapkan tersangka toh nanti ada SP3. Ini saya takutkan menjadi abuse of power," jelas Sigit di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (11/9).

Diperketat itu, dijelaskan Sigit, penyidik harus selektif. Misalnya tersangka meninggal atau berdasarkan keputusan pengadilan. "Tapi jangan dibuka ruang itu yang diskresinya dari dalam penyidik. Untuk menentukan SP3," jelasnya.

Sigit menilai dewan pengawas KPK diperlukan untuk dibentuk. Menurutnya, harus ada unit yang memiliki fungsi pengawasan ketat. Kata dia, di negara luar lembaga dengan kewenangan luar biasa juga ada lembaga pengawas. "Dalam konteks dewan pengawas, karena dia punya kewenangan superbody, maka konsekuenasi logisnya adalah pengawasannya harus kuat," kata dia.

PNS Kemenkeu itu membandingkan KPK dengan lembaga lain. Polisi memiliki Kompolnas, Jaksa dengan Komjak, hakim dengan Komisi Yudisial, dalam pajak dengan Komwasjak.

Sementara pengawasan KPK saat ini hanya dipegang oleh internal dengan pejabat selevel eselon dua. Persoalan jika diawasi secara internal, posisi tidak independen.

"Nah mestinya untuk KPK, leveling unit kepatuhan internalnya ditunjuk paling tidak oleh presiden, supaya punya independensi pengawasan etik di internalnya. tidak hanya selevel eselon dua," kata Sigit.

Sedangkan, Sigit tidak setuju dengan penegasan posisi KPK sebagai lembaga eksekutif. Dampaknya, pegawai KPK menjadi ASN dan pimpinan ditunjuk oleh presiden langsung.

"Jadi seyogyanya KPK ini, dalam konteks kedudukan tata negara itu masih memungkinkan untuk di pertahankan, hanya yang diperkuat adalah wilayah pengawasannya," sebutnya.

 


Capim Nurul Gufron, SP3 di KPK Sebagai Way Out

Calon pimpinan KPK Nurul Gufron menuliskan makalah terkait perlunya penghentian kasus alias surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Pemikirannya itu menjadi korban cecaran anggota Komisi III. Pasalnya, pandangan itu sejalan dengan salah satu poin revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Gufron membantah pandangannya itu disampaikan berkaitan dengan revisi UU KPK. Dia menyebut sudah menulis sejak 2004 tentang SP3 di KPK dalam tesisnya.

"Sudah begitu tidak karena kaitan revisi. Tidak karena mau capim atau apapun," kata Nurul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (11/9).

Menurutnya SP3 merupakan sebuah keniscayaan. Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember itu menilai dalam proses peradilan pidana ada keterbatasan manusiawi.

"Untuk beri way out atas kemanusiaan yang memungkinkan khilaf dan salah butuh SP3. Tidak smua yang disidik benar," jelasnya.

Lebih jauh Nurul menjelaskan alasan KPK tidak memiliki SP3. Kata dia tidak sesederhana karena ingin berbeda. Nurul menuturkan, tidak ada SP3 karena praktik jual beli penghentian kasus di lembaga hukum sebelum KPK.

"Bukan hanya ingin berbeda tetapi banyak SP3 diperjualbelikan itu yang mengakibatkan seakan-akan penindakan korupsi di dalamnya ada tindak pidana korupsi," jelasnya.

Namun, Nurul menilai cara tersebut keliru. Harusnya sistemnya yang diubah, bukan diberangus.

"Tidak berarti kalau punya mobil, mobil ada kemudian rusak tidak kita bakar. Kalau SP3 dulu dijualbelikan, menimbulkan jual beli, ya kita perbaiki," pungkasnya.

 


Capim Nyoman Sebut KPK Tidak Tertib Administrasi

Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang juga calon pimpinan KPK I Nyoman Wara menjelaskan terkait status Wajar Dengan Pengecualian (WDP) yang pernah diberikan BPK kepada KPK pada 2017.

Hal tersebut menjawab pertanyaan anggota DPR komisi III dalam uji kelayakan dan kepatutan Capim KPK di Kompleks Parlemen, Rabu (11/9).

Nyoman mengakui bahwa KPK mendapatkan status WDP pada tahun 2017. Hal tersebut lantaran permasalahan barang sitaan dan rampasan. Dia berkata, administrasi barang sitaan oleh KPK tidak tertib.

"Terutama terkait permasalahan barang sitaan dan barang rampasan. Untuk barang sitaan memang kami melihat administrasinya tidak tertib," jelasnya.

Nyoman mengungkap, sejak 2016 barang sitaan tidak pernah dicatatkan dalam laporan keuangan KPK. Pada 2017, KPK baru mulai pencatatan, namun dinilai belum tertib.

Untuk barang rampasan, kata Nyoman harusnya dicatat dalam laporan keuangan KPK. BPK menemukan beberapa permasalahan. Nyoman mengungkap, nilai barang rampasan di KPK mencapai Rp1,093 triliun.

KPK, ucap Nyoman, belum memiliki standart operational procedure (SOP) formal mengelola barang rampasan. Dia menuturkan, sudah ada catatan di akutansi dan unit labusi, namun memiliki data yang berbeda. Di akutansi tercatat Rp1,093 triliun, tetapi di unit labusi tercatat Rp1,4 triliun.

"Tapi berarti ada perbedaan hampir 400 M. Berarti harus direkonsiliasi data mana yang benar," kata dia.

Lebih lanjut, Nyoman mengatakan dari catatan Rp1,093 triliun rampasan KPK, sekitar 200 barang senilai Rp275 miliar tidak dilengkapi bukti pendukung. Lalu, ada pula aset yang ada dalam bentuk fisik tetapi tidak tercatat dalam laporan keuangan KPK.

Serta, Nyoman menyebut ada barang tercatat keluar dari catatan KPK tetapi tidak didukung bukti yang memadai. Lantas Nyoman mempertanyakan ke mana barang rampasan tersebut.

"Kalau dia dilelang mana risalahnya? Kami tidak dapat itu. Untuk barang sitaan kami nyatakan tidak wajar. Ada angka barang sitaan tidak diyakini kewajarannya," dia memungkasi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya