Makna Difabel dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

Kini, istilah Penyandang Cacat sudah tidak relevan, terutama bagi lingkup disabilitas atau difabel.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Sep 2019, 13:03 WIB
Kepala Bidang Pengembangan Pusat Pengembangan dan Pelindungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Dora Amalia menunjukkan kosakata yang akan dimasukkan ke KBBI di ruang kerja, Jakarta, Selasa (20/12). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam sistem komunikasi. Komunikasi biasanya menggunakan kata maupun gerakan. Bahasa terdiri dari unsur kosakata atau frasa (kata).

Bahasa dan kata ini sangat unik karena sejarahnya begitu panjang hingga terbentuk kata dan sistem bahasa, begitu dikutip dari www.newsdifabel.com, Kamis (12/9/2019).

Bahasa Indonesia dari zaman ke zaman akan terus berkembang, bergerak, dan menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, serta seni. 

Dalam teknis tata bahasa, Sistem Bacaan Yang Disempurnakan (EYD) sudah diganti dengan pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.

Secara teknis, PUEBI adalah pedoman dalam tata bahasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang terakhir, yaitu KBBI V 0.2.1 Beta (21) yang dibuat oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 2016, kata di.fa.bel/Difabêl/ memiliki arti penyandang cacat.

Padahal, kata difabel adalah serapan dari Different Ability yang berarti perbedaan kegunaan; memiliki makna perbedaan cara penggunaan anggota tubuh. Different ability kemudian dipendekkan menjadi Difable dan dalam perkembangannya menjadi difabel.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Predikat Negatif

Pertanyaan itu berisi, mengapa KBBI Online tidak diupdate lagi? Padahal KBBI menjadi pedoman orang untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan

Kini, istilah Penyandang Cacat sudah tidak relevan, terutama bagi lingkup disabilitas. Seharusnya, sudah diganti dengan istilah yang lebih nyaman untuk kaum difabel.

Mengapa perlu diganti? Karena istilah Penyandang Cacat dihubungkan dengan subyek yang konotasinya negatif dan memiliki asumsi (secara sosial) yang tidak dapat diberdayakan.

Predikat negatif dari istilah Penyadang Cacat mengemuka karena pengistilahan tersebut sangat bias dan luas, sehinggga berbeda dengan istilah difabel yang langsung merujuk fisik.

Sementara istilah cacat lebih bias karena juga artinya cela, aib, mutu, dan nilai yang tidak baik. Lebih parahnya,dalam KBBI, kata Cacat maknanya digabungkan dengan cela/aib secara nilai dengan kondisi ketubuhan.

Dari laman resminya www.kbbi.kemdikbud.go.id diyatakan bahwa pemutakhiran KBBI sudah dilakukan oleh Badan Bahasa pada april 2019 dengan rincian 389 entri baru, 36 makna baru, 3 contoh baru, 179 perubahan entri, 222 perubahan makna, 11 perubahan contoh, dan 16 entri nonaktif.

Meskipun KBBI sudah dimutakhirkan, namun istilah “Penyandang Cacat” tidak juga diganti sehingga membuat tidak nyaman untuk dibaca.

Pemikir besar bernama Ferdinand de Saussur,dalam teori linguistik/bahasa menganalisa, bahasa adalah sebuah sistem yang mengekspresikan ide sehingga pembahasaan terkait dengan ide atau perspektif manusia bisa dilihat dengan cara memilih kata atau bahasa.

Jika idenya tidak inklusif, maka menentukan kata dan bahasa juga tidak inklusif. Konsep linguistik Saussure juga menekankan bahwa bahasa terbentuk dari sebuah aturan linguistik sehingga memungkinkan manusia berkomunikasi secara bermakna.

Pemahaman konsep Saussure tentang bahasa diandaikan oleh dia dengan sebuah permainan catur. Terdiri dari bidak-bidak yang memiliki makna dan fungsi berbeda. Bidak raja, ratu, dan kuda, harus dimaknai dan dipahami sesuai konteksnya sehingga ketepatan menggunakan bahasa merupakan ekspresi dari nilai ide manusia.

 

 

(Desti Gusrina)

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya