Liputan6.com, Yogyakarta - Usia 19 tahun biasanya mahasiswa baru menginjakkan kakinya di kampus. Namun, Maria Clara Yubilea atau biasa disapa Lala, justru sudah menyabet gelar sarjananya dengan predikat Cumlaude dengan IPK 3,76.
Pencapaian itu menjadi sangat spesial baginya karena Lala bukanlah anak dan mahasiswa biasa. Divonis oleh dokter sebagai anak berkebutuhan khusus “Gifted Normal Atas”, Lala memperoleh tantangan berupa kesulitan dalam berkomunikasi.
Advertisement
Namun tantangan itu juga hadir dengan berkah tersendiri. Lala menjadi anak genius dengan IQ 145. Dengan bimbingan Patricia Lestari Taslim yang mengambil S2 Pendidikan Luar Biasa di UNY demi memperoleh pengetahuan tentang cara mendidik sang anak, Lala berhasil menyabet prestasi di dalam maupun luar kelas. Hal tersebut ia buktikan lewat kebolehan mewakili UNY dalam pertukaran pelajar ke Jerman dan menulis buku terkait anak berkebutuhan khusus.
"Mama sering bilang, vonis (sebagai gifted) dan Tes IQ itulah awal musibah (karena semakin tinggi IQ umumnya menambah masalah komunikasi). Tapi ternyata dari penemuan dan bimbingan mama, musibah ini punya banyak potensi. Potensi yang Puji Tuhan dapat Lala maksimalkan," ungkap Lala.
Dianggap Anak Nakal
Lala diketahui sebagai anak gifted saat bergabung di Sekolah Dasar. Mulanya, Lala sulit diatur oleh guru dan disebut sebagai trouble maker. Predikat nakal tersebut membuat Lala sampai harus berpindah-pindah sekolah sejak kelas 2 SD. Tercatat hingga akhir jenjang SD, Lala sudah lima kali pindah sekolah. Pada saat itu, Patricia selaku Ibu mengaku belum paham bahwa apa yang dihadapi putri semata wayangnya tersebut adalah kebutuhan khusus.
“Yang saya tahu (saat itu), Lala itu trouble maker. Saya memaksakan dia harus sekolah umum dan sekolah negeri. Namanya juga ibu, saya jujur saja waktu itu otoriter ingin anak saya sekolah. Apalagi saya mantan guru, dan suami saya (Rahardjo Sidharta) berprofesi sebagai dosen (Teknobiologi UAJY),” kenang Patricia.
Pengetahuan Patricia waktu itu terbuka ketika Lala mogok sekolah menjelang ujian nasional. Mulanya, dia tidak mau lagi masuk sekolah karena merasa tidak nyaman dengan kegiatan belajar di sekolah dalam mempersiapkan ujian.
Namun setelah dipaksa, Lala akhirnya berkenan untuk menuntaskan Ujian Nasional sebagai kewajibannya guna lulus dari sekolah tersebut. Ajaibnya dengan terpaksa dan tanpa persiapan ujian, Lala lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.
"Nilainya bagus-bagus. Saat itulah saya mulai memahami, bahwa kita harus ekstra tenaga mendampingi karena kebutuhan dia berbeda. Kita konsultasi ke dokter dan tes IQ pada 2013, IQnya pada saat itu 131, dan selalu naik setiap kami melakukan tes dua tahun sekali," ungkap Patricia yang mendapati bahwa pada tahun 2017, Lala mencatatkan nilai 145 dalam tes IQ.
Advertisement
Pendidikan Inklusif di UNY
Sejak diketahui sebagai anak berkebutuhan khusus, pilihan dijatuhkan Lala dan orang tua untuk belajar secara homeschooling. Dibimbing oleh Patricia, lala menggunakan buku bekas milik kakak sepupunya. Bersekolah di rumah juga enggak membuat Lala tidak memiliki teman.
Buktinya, dia aktif di berbagai komunitas seperti Komunitas Sesama Homeschoolers, komunitas menari, dan komunitas musik. Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) menjadi tempatnya menghabiskan waktu bersama kawan-kawan.
"Saat itu, saya juga suka menulis di blog," tutur dara kelahiran Sleman, 13 Mei 2000 tersebut. Karena cepat belajar, Lala berhasil menuntaskan ujian Kejar Paket B (setara SMP) dan Kejar Paket C (setara SMA) di tahun 2013 dan 2015. Nilai ujiannya pun bagus. Selain itu, Lala juga telah menguasai Bahasa Inggris, Perancis, dan Jepang.
Ia belajar bahasa dari percakapan sehari-hari dan berselancar di dunia maya. Tiba-tiba saja selepas ujian kejar paket dan bertemu kawan-kawannya, Lala meminta ke orangtua untuk berkuliah. Kembali bergabung dengan teman temannya yang tidak berkebutuhan khusus.
"Kami kemudian berpikir. Ada baiknya memang dia kuliah. Saran dari hasil tes IQ, mengambil jurusan bahasa. Akhirnya diambillah bahasa yang belum ia kuasai, yaitu Pendidikan Bahasa Jerman," ungkap Patricia sembari menyebutkan bahwa jurusan tersebut memang hanya tersedia di UNY. Selama perkuliahan, dosen dan teman-teman Lala sangat suportif membantunya belajar.
Bahkan Lala kerap dijadikan rebutan apabila terdapat tugas beregu ataupun dalam pembentukan kelompok. "Jadi lingkungan di UNY inklusif. Ada dua alasan sebenarnya. Pertama karena Lala masih imut, anak usia 15 tahun, dan kedua karena Lala cepat belajarnya. Setahun belajar Jerman, dia sudah fasih," kenang Patricia.
Simak juga video berikut ini: