Liputan6.com, Jakarta - Komisi III DPR RI melakukan uji kepatutan dan kelayakan atau fit and proper test terhadap capim KPK Johanis Tanak di Gedung DPR, Senayan, Jakarta. Dalam forum itu, Johanis setuju soal revisi undang-undang KPK Nomor 30 Tahun 2012. Menurutnya masih banyak yang perlu diatur di dalam KPK.
"Saya setuju, bukan karena mau ikut-ikut DPR bahwa undang-undang KPK ya atau tidak, tapi saya setuju karena melihat masih banyak yang perlu diatur tentang lembaga ini, saya kira perlu direvisi," kata Tanak saat ditanya apakah setuju soal revisi UU KPK, Kamis (12/9/2019).
Advertisement
Pria yang berprofresi Jaksa itu juga mendukung adanya lembaga pengawasan di tubuh KPK. Menurutnya, pengawasan internal saja tidak cukup.
"Itu tidak cukup menurut hemat saya, karena bisa saja pengawasan internal tidak objektif dalam melakukan pemeriksaan," ucap Johanis Tanak.
"Apabila tegurannya tidak dipatuhi, pengawas eksternal bisa melakukan tindakan hukum," tambahnya.
Dia mencontohkan pengawasan eksternal yang sudah diterapkan di lembaga Kejaksaan. Sehingga, bila ada jaksa yang indisipliner, maka pengawas eksternal bisa mengambil tindakan hukum.
"Sudah banyak yang dihukum, termasuk dalam tindak pidana korupsi," tandas Johanis Tanak.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
SP3
Johanis juga mendukung penerbitan surat perintah pemberhentian penyelidikan atau SP3 di tubuh KPK dalam revisi UU KPK.
"Menurut hemat saya, SP3 ini memang diperlukan karena pertama manusia tidak luput dari kekhilafan. Kemudian, di KPK juga, mohon maaf, bukan sarjana hukum semua. Bukan juga berarti mereka tidak paham," kata Tanak saat tes uji kelayakan dengan Komisi III di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (12/9/2019).
Tanak melanjutkan, dalam UU tentang KPK yang saat ini dipakai, memang belum tercantumkan adanya kewenangan mengeluarkan SP3 terhadap suatu perkara.
Tanak meneruskan, SP3 harusnya juga dapat saja dikeluarkan kalau sekiranya ada kekeliruan oleh penyidik. Sebab, seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK tak bisa terus sampai berlarut, tidak jelas karena tidak atau belum terpenuhinya unsur pidana dilakukan.
"Jadikan kalau tak cukup alat bukti harus dilimpahkan, dan (bila) kurang mampu untuk meyakinkan hakim sehingga hakim bisa memutus satu perkara dan menghukum bersangkutan maka ini memang diperlukan SP3," jelas Tanak.
Dia mengatakan, jika tidak ada SP3 maka ke depan KPK berpotensi melanggar hak asasi manusia si tersangka.
"Jadi saya kira itu rasio logis dari KUHAP untuk kemudian menetapkan SP3 dalam satu perkara," Tanak menandaskan.
Reporter: Muhammad Genantan Saputra
Sumber: Merdeka
Advertisement