Problem Hukuman Predator Anak di Serambi Makkah

Lain teringat lain disebut; bertukar angguk dengan Ilallah. Apa mau, sang ulama kini terjerat kasus kejahatan seksual terhadap anak.

oleh Rino Abonita diperbarui 13 Sep 2019, 18:00 WIB
Ilustrasi korban pelecehan seksual pada anak. Sumber: Istimewa

Liputan6.com, Aceh - Mari menyelami cerita kejahatan seksual terhadap anak.

Suaranya terdengar serak dan berat, cara penyampaiannya lugas dan tertata. Terdapat letupan-letupan kecil pada beberapa kalimat sehingga pesan yang disampaikan terdengar lebih mengena. 

Langgam seperti itu sering ditemukan dalam ceramah-ceramah sang 'Dai Sejuta Umat', Zainuddin M.Z. Jas yang dibiarkan terbuka, serban yang menyelempang di bahu, plus songkok warna hitam, menandakan bahwa dirinya terilhami oleh sosok ulama tersebut.

Malam itu, ia sedang mengisi ceramah peringatan maulid di pelataran salah satu masjid Desa Krueng Juli Barat, Kecamatan Kuala, Kabupaten Bireuen, Aceh. Tajuknya "Nada dan Dakwah Bersama Qari dan Dai Nasional".

Pria yang menyandang gelar ulama itu turut menyinggung betapa pentingnya menahan hawa nafsu di dalam materinya. Isi ceramahnya disampaikan dalam dialek regional yang sesekali disisipi bahasa Indonesia.

"Nafsu menggiring manusia kepada yang kejahatan," kalimat itu diucapnya dengan penuh penekanan. Hal yang sama kembali ditegaskannya di ujung ceramah.

Apa yang diumbarnya pada malam itu sesuai dengan judul video ceramahnya yang telah diunggah di Youtube berjudul "Nafsu Menggiring Manusia kepada Kejahatan".

Video berdurasi hampir satu setengah jam, itu dipublikasi pada 10 Agustus 2018. Telah ditonton sebanyak 16.757 kali oleh pengguna Youtube.

Video tersebut hanya salah satu dari sekian banyak videonya yang tersebar di Youtube. Selain ceramah, terdapat pula video dirinya tengah memimpin zikir munajat.

Lain teringat lain disebut; bertukar angguk dengan Ilallah. Apa mau, sang ulama kini terjerat kasus kejahatan seksual terhadap anak.

Para korban adalah anak didiknya sendiri. Polisi turut menyeret salah seorang tenaga pendidik yang merupakan bawahannya.

Ulama berinisial AIN (45), itu merupakan pimpinan salah satu pesantren yang cukup mentereng di Kota Lhokseumawe. Pesantren tersebut telah dinonaktifkan untuk sementara waktu. Polisi bekerja keras, tujuan penonaktifan juga jelas mencegah meluas dan terulangnya kejahatan seksual pada anak.

 


Hukuman Ringan?

Ilustrasi korban pelecehan seksual pada anak. Sumber: Istimewa

Bawahannya yang ikut terseret merupakan salah satu guru dari pesantren yang dikelolanya. Konon, perbuatan bejatnya pernah dilakukan di depan guru berinisial MY (26) itu.

Jumlah korban mencapai belasan, dan rata-rata merupakan santri laki-laki yang tergolong masih di bawah umur. AIN dan MY mulai mencabuli para korbannya sejak September tahun lalu.

Modusnya menyuruh korban membersihkan kamar atau dipaksa tidur ke kamar pelaku. Terdengar rumor kalau prilaku menyimpang AIN sudah menjadi rahasia umum di kalangan santri, namun, mereka takut buka mulut.

Orang tua salah satu korban membuat laporan ke polisi pada Sabtu 29 Juni 2019. Polisi lantas menekuni kasus ini hingga akhirnya menahan AIN dan bawahannya.

Korban AIN lebih banyak dari MY. Untuk satu korban, AIN bisa melakukan kejahatan seksual pada anak hingga 7 kali, sementara MY, baru menyasar satu korban dengan jumlah perbuatan sebanyak 2 kali.

AIN terkenal dekat dengan lingkaran elite di Aceh karena profesi yang diembannya. Ia kerap mengunggah foto sedang berpose dengan pejabat di akun media sosialnya.

Penyidik Polres Lhokseumawe telah melengkapi berkas kasus keduanya ke Kejaksaan Negeri (Kejari) setempat. Saat ini berkas tersebut tengah diteliti oleh jaksa.

"Belum P21. Kalau sudah P21 baru bisa dikabari perkembangannya," kata Kepala Seksi Intel dan Humas Kejari Kota Lhokseumawe, Miftah, kepada Liputan6.com, Kamis malam (13/9/2019).

Miftah belum bisa memastikan aturan hukum mana yang akan dikenakan kepada para pelaku. Besar kemungkinan keduanya dikenakan hukum regional.

"Sejauh yang saya lihat kemarin, kayaknya perkaranya ke qanun, itu," jawab dia

Simak video pilihan berikut: 


UU Perlindungan Anak vs Qanun

Ilustrasi kekerasan pada anak. Sumber: Istimewa

Persoalan menjatuhi para pelaku dengan qanun sejak awal telah ditolak oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh. Sanksi dinilai terlalu rendah jika pelaku dipersangkakan dengan pasal dalam qanun.

Selain bertolak belakang dengan semangat perlindungan terhadap anak, juga terkesan menyampingkan trauma korban. Karena qanun tidak menerakan hak restitusi di dalamnya.

Pasal yang diterapkan penyidik mestinya 76D Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bukan pasal dalam qanun.

"Pasal 47 Qanun Jinayah itu hukumannya 90 kali cambuk, penjara 7,5 tahun, bayar denda 900 gram emas. Kalau kita bandingkan dengan UUPA, 15 tahun penjara," jelas Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul, kepada Liputan6.com, Kamis malam.

Dalam pasal 81 ayat 3 UUPA ada pidana tambahan jika pelaku merupakan orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan. Hukumannya mencapai 20 tahun penjara, karena ditambah sepertiga dari hukuman sebelumnya.

Dalih pemberlakuan qanun untuk menghormati lex specialis di Aceh terbilang rancu di mata Syahrul. Penegak hukum harusnya berkaca dari vonis beberapa kasus kejahatan seksual terhadap anak yang terjadi di Aceh baru-baru ini.

"Beberapa hari lalu Pengadilan Negeri Blang Pidie memutuskan 20 tahun penjara dan harus membayar denda 800 juta akibat mencabuli anak tirinya," sebut Syahrul.

 


Keprihatinan Ulama

Ilustrasi Foto Pemerkosaan dan Kejahatan Seksual (iStockphoto)

November tahun lalu Pengadilan Negeri Pidie memutuskan 20 tahun penjara tehadap seorang petani yang melakukan kekerasan seksual terhadap 8 orang anak di bawah umur. Kedua kasus yang memakai hukum nasional ini mestinya menjadi preseden.

Syahrul menilai ganjil pasal qanun yang dipersangkakan kepada pelaku. Pasal 47 Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat merupakan pasal pelecehan seksual, harusnya pasal 51 tentang pemerkosaan, karena pelaku menyodomi korban.

"Masyarakat maunya pelaku kejahatan seksual terhadap anak dihukum seberat-beratnya. Bahkan dikebiri," pungkasnya.

Pimpinan salah satu pondok pesantren cum Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Barat, Tengku A. Rani, mengaku prihatin sosok seperti AIN mesti berhadapan dengan hukum. Nama AIN dipandang cukup kesohor sebagai seorang ulama.

"Salah satu tugas ulama adalah memberi contoh yang baik kepada umatnya. Peristiwa yang terjadi di Lhokseumawe sangat kita sayangkan, apalagi beliau itu seorang tokoh," ujar Rani, dihubungi Liputan6.com, Kamis malam.

Menurut Rani seorang ulama tak ubah manusia pada umumnya. Bisa berbuat kesalahan atau dosa.

Kasus ini baginya menjadi bahan mawas diri. Jika seseorang yang mafhum ilmu agama bisa terjerembab, apalagi orang biasa.

"Ini menjadi pelajaran. Pertama, jangan mentang-mentang panutan, berbuat sewenang-wenang. Kedua, semakin tinggi kharisma, harusnya menjadi teladan masyarakat," jelasnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya