Pengusaha Surabaya Keluhkan Biaya Pengiriman Sembako Lewat Tol Laut

Pengusaha di Surabaya juga mengeluhkan untuk mendapatkan kapal Program Tol Laut juga tidak mudah selain biaya pengiriman tinggi.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 13 Sep 2019, 11:45 WIB
Petugas bersiaga sebelum keberangkatan KM Caraka Jaya Niaga III-4 yang digunakan sebagai kapal tol laut logistik Natuna di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (25/10). (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Surabaya - Pengusaha di Surabaya, Jawa Timur yang menyuplai kebutuhan sembako di Papua mempertanyakan efektivitas subsidi pada program Tol Laut oleh pemerintah untuk pengiriman barang dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya ke Pelabuhan Agats dan Pelabuhan Fak-Fak di Papua.

Sebab, meskipun disubsidi, tarif pengapalan barang untuk tujuan tersebut masih sangat tinggi. Alfian, pelaku bisnis di Surabaya mengatakan program Tol Laut digulirkan oleh pemerintah bertujuan mengurangi kesenjangan atau disparitas harga. Namun, harapan itu masih jauh terutama untuk pengiriman barang ke Papua. 

"Kenyataan di lapangan harga-harga barang yang dikirim ke Papua relatif tidak mengalami perubahan yang berarti meskipun pengiriman barang menggunakan kapal-kapal Tol Laut yang disubsidi. Biaya pengiriman masih tetap saja tinggi,” kata Alfian di Surabaya, Kamis, 12 September 2019.

Alfian menyatakan, dirinya rutin mengirim sembako dua kali per bulan dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya ke wilayah Indonesia Timur, terutama ke pelabuhan Agats di Kabupaten Asmat, dan Pelabuhan Fakfak di Papua. Sembako itu untuk memenuhi kebutuhan pasar di beberapa kota di Papua. Selain biaya pengiriman yang tinggi, mendapatkan kapal Program Tol Laut juga tidak mudah.

"Penggunaan tol laut tidak semudah yang dibayangkan, karena setiap kami konfirmasi ke ekspedisi atau pelayaran rata-rata dijawab kalau tol laut sudah penuh. Ya terpaksa akhirnya balik ke jalur reguler," papar Alfian.

Sebagai pelaku bisnis, dirinya tidak bisa apa-apa ketika tidak ada pilihan lain dalam logistik pengiriman, terutama alternatif pilihan yang lebih ekonomis dalam pengiriman barang. Kondisi tersebut semakin menyulitkan ketika tidak ada transparansi dalam hal jumlah kuota kapasitas pengangkutan Program Tol Laut.

"Seringkali jatah kontainer untuk tol laut itu habis, padahal kami pesan itu sudah jauh-jauh hari, hingga dua bulan sebelumnya, tapi tetap saja tidak kebagian,” terang Alfian.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Tarif Berbeda-beda

Petugas berjaga didekat KM Caraka Jaya Niaga III-4 yang digunakan sebagai kapal tol laut logistik Natuna di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (25/10). Tol Laut tersebut bertujuan menekan disparitas harga di Natuna. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Alfian mengatakan, selain masih tinggi, tarif Tol Laut yang berlaku di lapangan juga terjadi perbedaan yang cukup besar antara harga pengiriman oleh pihak kapal dengan pihak ekspedisi (EMKL). 

Misalnya, untuk pengiriman ke Fak Fak, tarif untuk dry container oleh kapal sebesar Rp 3.809.500 ditambah biaya stuffing di kisaran antara Rp 3 juta-Rp 3,5 juta. Sementara tarif yang diberlakukan oleh ekpedisi di kisaran Rp 9 juta-Rp 11 juta.

Adapun untuk tujuan pelabuhan Agats, tarif untuk dry container diberlakukan oleh perusahan pelayaran sebesar Rp 3.327.500. Sementara tarif yang diberlakukan oleh ekspedisi bisa mencapai sebesar Rp 15 jutaan.

"Ini butuh tranparansi, sebab tarif pengiriman via tol laut antar ekspedisi bisa berbeda-beda, padahal rutenya sama,” ungkap Alfian.

Alfian berharap, pemerintah pusat terutama Kementerian Perhubungan (Kemenhub) segera menindaklanjuti keluhan di lapangan ini agar pelaksanaan subsidi untuk Program Tol Laut ini berjalan efektif seperti harapan pemerintah. 

"Saya selalu mendengar Pak Presiden Jokowi akan mengecek pelaksanaan setiap program pemerintah di lapangan. Saya ingin efektivitas subsidi angkutan barang pada Tol Laut ini juga dicek di lapangan sehingga ada perbaikan ke depan," pungkasnya.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya