Liputan6.com, Jakarta Semakin mahal harga rokok maka menurun pula jumlah konsumsi rokok. Kesimpulan tersebut didukung hasil studi Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI).
Advertisement
“Hasil penelitian PKJS-UI terhadap 1.000 responden, sekitar 88 persen masyarakat mendukung harga rokok naik. Bahkan 80,45 persen perokok setuju jika harga rokok naik. Semakin tinggi harga rokok, jumlah konsumsi rokok akan semakin turun," tegas Ketua PKJS-UI Aryana Satrya, sebagaimana keterangan tertulis yang diterima Health Liputan6.com, Sabtu (14/9/2019).
"Namun, sebagian besar perokok mengaku akan berhenti merokok apabila harga mencapai Rp60.000 sampai Rp70.000 per bungkus. Artinya, kenaikan cukai rokok harus signifikan (tinggi) membuat harga rokok menjadi lebih mahal."
Harga rokok di Indonesia sendiri masih tergolong murah. Rata-rata harga jual rokok Rp17.000 per bungkus. Belum lagi, praktik penjualan rokok dalam bentuk eceran masih dilakukan di berbagai tempat.
Harga rokok yang murah pun membuat remaja mampu menjangkau rokok dengan mudah. Apalagi jika mereka membeli secara patungan. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan RI, prevalensi merokok remaja usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.
Simak Video Menarik Berikut Ini:
Rokok Harus Mahal
Studi PKJS-UI pada 2018 berhasil mewawancarai secara mendalam keluarga penerima bantuan sosial (bansos) di Kota Malang dan Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kategori responden dalam kondisi ekonomi yang sangat pas-pasan.
Walaupun begitu mereka tetap menghabiskan sebagian pendapatan untuk belanja rokok hingga dua bungkus per hari. Padahal, keluarga penerima dana bansos masih belum mampu memenuhi kebutuhan pangan dan tempat tinggal yang layak.
"Karena anggaran untuk belanja rokok menghabiskan hampir setengah dari kebutuhan sehari-hari. Sekali lagi ini membuktikan, harga rokok masih terjangkau bagi kelompok masyarakat miskin. Rokok memang harus mahal jika ingin kesejahteraan masyarakat meningkat. Masyarakat sendiri banyak yang mendukung harga rokok naik," tambah Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Teguh Dartanto.
Advertisement
Penyeragaman Cukai Rokok
Di sisi lain, masyarakat miskin dan anak di bawah umur masih punya pilihan merek rokok dengan harga lebih murah bila harga merek rokok yang biasa dikonsumsi naik. Kondisi ini terjadi akibat variasi harga rokok di Indonesia yang masih memungkinkan seseorang berpeluang untuk tetap merokok.
"Oleh karena itu, cukai rokok juga perlu diberlakukan agar variasi harga rokok berkurang sehingga konsumsi rokok dapat dikendalikan," lanjut Aryana.
Berdasarkan studi yang dilakukan Ketua Program Studi Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Vid Adrison, cukai rokok di Indonesia akan berdampak pada harga rokok yang lebih tinggi. Ini dapat menciptakan kehadiran merek baru rokok berkurang.
Peneliti juga menambahkan jika penyeragaman tarif cukai rokok dilakukan, upaya pengendalian konsumsi rokok akan lebih efektif.
Namun, penyeragaman cukai yang tidak optimal membuat penurunan konsumsi merokok akan berjalan lambat. Kenaikan cukai rokok yang ideal semestinya meningkatkan harga rokok secara signifikan agar tidak mudah dijangkau masyarakat. Kenaikan cukai rokok juga perlu diberlakukan untuk memperkecil peluang pilihan harga rokok yang lebih murah.
Upaya-upaya tersebut diharapkan mampu menciptakan generasi muda yang hebat serta mempercepat pembangunan SDM Indonesia yang berkualitas.