Liputan6.com, Jakarta - Setelah Turki secara resmi kena resesi karena ekonominya minus 1,5 persen, Jerman dikabarkan akan bernasib sama akibat ketidakpastian perang dagang dan kondisi Brexit.
Mengutip laman Reuters, Jumat (13/09/2019), Institute for the World Economy (IfW) memperkirakan Jerman akan jatuh ke jurang resesi di kuartal III tahun 2019. Karenanya, IfW memangkas proyeksi pertumbuhan negara dengan ekonomi besar di Eropa tersebut dari 0,6 persen menjadi 0,4 persen.
Baca Juga
Advertisement
IfW menyebutkan jika ekonomi Jerman akan melemah 0,3 persen di kuartal III tahun ini, jumlah yang lebih besar dari kuartal sebelumnya yang melemah 0,1 persen.
Namun, IfW melihat ada peluang kenaikan ekonomi tahun 2020 mendatang sebesar 1,0 persen, tapi jumlah ini pun lebih kecil dari perkiraan awal yang sebesar 1,6 persen.
Presiden IfW Gabriel Felbermayr menjelaskan, peluang ini bukan terjadi karena perang tarif antara Amerika Serikat dengan China, namun lebih kepada ketidakpastian perang dagang.
"Dengan perang dagang ini, kita tidak tahu apa yang akan dilakukan Trump selanjutnya. Ketidakpastian inilah yang jadi racun bagi investasi," ungkapnya.
Sementara untuk potensi pertumbuhan ekonomi di negara berkembang, Gabriel justru menyatakan negara berkembang cenderung masih bisa meningkatkan ekonominya dengan memanfaatkan peluang yang ada seperti ekspor.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ekonomi Minus 1,5 Persen, Turki Resmi Kena Resesi
Turki resmi masuk jurang resesi. Negara ini mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi karena pada kuartal III tahun ini, ekonomi Turki minus 1,5 persen.
Mengutip laman Reuters, Kamis (12/09/2019), hal ini disebabkan penurunan nilai mata uang Turki, Lira. Tahun lalu, tercatat nilai Lira anjlok 30 persen.
Krisis nilai mata uang ini dikarenakan perang diplomatik AS dengan Turki. Pada waktu itu, investasi asing di Turki dicabut, ditambah nilai Lira turun 9,6 persen.
Alhasil, pemerintah Turki melonggarkan kebijakan moneter dengan memangkas suku bunga di bawah 20 persen pada Juli 2019 lalu.
Tapi nyatanya, investasi di Turki tidak berkembang karena ketidakpastian mata uang ditambah bunga pinjaman bank yang tinggi. Akhirnya, ekonomi Turki melambat mulai dari kuartal II 2019. Industri juga turut melemah.
Advertisement
Pertemuan G7: Perang Dagang Bisa Timbulkan Resesi
Presiden Dewan Eropa Donald Tusk mengungkit berbagai masalah mendesak di dunia pada pertemuan G7 di Biarritz, Prancis. Tusk berharap forum ini bisa menyatukan para pemimpin dunia di tengah banyaknya tantangan global.
Beberapa isu besar yang diungkin Tusk adalah kebakaran besar Hutan Amazon, masalah dengan Iran dan Rusia, serta melemahnya ekonomi global akibat perang dagang sehingga memicu resesi.
Tusk berkata memiliki kesepakatan dagang dan mendorong peran World Trade Organization (WTO) jauh lebih baik ketimbang perang dagang. "Perang dagang akan berujung pada resesi, sementara kesepakatan dagang akan menunjang ekonomi, belum lagi fakta bahwa perang dagang antara anggota G7 akan berujung pada pengikisan kepercayaan yang sudah melemah di antara kita," ujar Tusk seperti dikutip Politico.
Mengenai perang dagang antara negara G7, Presiden Trump sempat mengancam akan mengenakan tarif ke mobil Jerman, namun ia berkata hanya bercanda.
"Kami menyusun kesepakatan agar Uni Eropa akan setuju membayar tarif 25 persen untuk semua Mercedes-Benz, BMW, yang masuk negara kita, jadi kita mengapresiasi itu," ujar Trump ketika ada delegasi Uni Eropa di awal Agustus lalu.
"Saya hanya bercanda," Trump cepat-cepat menambahkan, disambut tawa tamu.
Meski demikian, Trump memang kesal akibat bisnis gas antara Jerman dan Rusia. Trump berkata tidak masuk akal bahwa AS harus membela Jerman dari Rusia sementara dua negara itu masih punya bisnis besar. Usai "bercanda", Bloomberg melaporkan Trump berkata tidak sepenuhnya bercanda dan siap memberi tarif ke mobil Jerman bila diperlukan.
Terkait perang dagang antara AS-China, Presiden Trump juga baru menambah tarif dari 25 persen menjadi 30 persen untuk produk China senilai USD 250 miliar. China pun merespons dengan berkata AS seharusnya tak meremehkan kekuatan ekonomi China.
G7 merupakan kelompong tujuh negara dengan industri dan ekonomi paling maju di dunia, mereka terdiri atas Amerika Serikat, Britania Raya, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, dan Prancis. Pertemuan tahun ini berlangsung hingga Senin 26 Agustus 2019.