5 Tanggapan Jokowi Terkait UU Revisi KPK

Revisi UU KPk menuai pro dan kontra dari berbagai pihak,tak terkecuali dengan presiden Jokowi.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Sep 2019, 07:29 WIB
Logo KPK yang sempat tertutup kain hitam kini sudah terbuka usai demo ricuh, Jumat (13/9/2019). (Liputan6.com/ Nanda Perdana Putra)

Liputan6.com, Jakarta - Revisi Undang-Undang (UU) KPK terus bergulir. Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyetujui usulan DPR untuk merevisi Undang-Undang KPK.

Meskipun mendapat pro kontra dari berbagai pihak, Jokowi memastikan telah mendengarkan dan mempelajari atas masukan-masukan yang diberikan masyarakat dan para pegiat antikorupsi sebelum merespons usulan DPR tersebut.

"Karena itu ketika ada inisiatif DPR untuk mengajukan RUU KPK maka tugas pemerintah adalah meresponnya. Menugaskan menteri untuk mewakili presiden dalam pembahasna bersama DPR," kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta.

Jokowi menyinggung ada beberapa poin yang tak setuju,hal ini akan berpotensi mengurangi efektifitas KPK. Kini, Jokowi telah memberikan mandat kepada Menkum HAM Yasonna H Laoly dan Menpan RB Syafruddin untuk menyampaikan sikap dan pandangan pemerintah.

Dia menegaskan, pemerintah tetap ingin KPK menjadi sentral dari agenda pemberantasan korupsi.

"KPK harus tetap memegang sentral dalam pemberantasan korupsi. KPK harus didukung dengan kekuatan memadai. KPK harus lebih kuat dari lembaga lain dalam pemberantasan korupsi," ujar Jokowi.

Berikut Tanggapan Jokowi terkait UU revisi KPK dihimpun Liputan6.com :

Saksikan video pilihan di bawah ini:


UU KPK Berumur 17 Tahun Perlu Penyempurnaan

Presiden Joko Widodo usai memberikan keterangan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Jokowi menyatakan mendukung sejumlah poin dalam draf revisi UU KPK diantaranya kewenangan menerbitkan SP3. (Liputan6.com/HO/Kurniawan)

Jokowi menilai UU tersebut sudah cukup tua, sehingga perlu disempurnakan.

"Kita tahu UU KPK telah berusia 17 tahun, perlu adanya penyempurnaan secara terbatas, sehingga pemberantasan korupsi makin efektif," kata Jokowi di Istana Negara, Jumat (13/9/2019).

Dia mengaku telah mempelajari dan mengikuti secara serius seluruh masukan-masukan yang diberikan para pegiat antikorupsi, dosen, mahasiswa, dan juga masukan dari para tokoh-tokoh bangsa yang menemuinya.

"Oleh karena itu, ketika ada inisiatif DPR untuk mengajukan revisi UU KPK, maka tugas pemerintah adalah meresponsnya. Menyiapkan daftar inventarisasi masalah dan menugaskan menteri untuk mewakili Presiden dalam pembahasan bersama DPR," ujar Jokowi.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menegaskan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi melalui KPK. Dia berjanji menjaga KPK agar lebih kuat dibanding lembaga lain dalam pemberantasan korupsi.

"Intinya KPK harus tetap memegang peran sentral dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, KPK harus didukung dengan kewenangan dan kekuatan yang memadai dan harus lebih kuat dibandingkan dengan lembaga lain dalam pemberantasan korupsi," kata Jokowi.

Oleh karena itu, dia memberikan arahan ke Menkumham dan Menpan RB agar menyampaikan sikap dan pandangan pemerintah terkait subtansi-substansi di revisi UU KPK.


Penyadapan KPK Izin Dewan Pengawas

Presiden Joko Widodo didampingi Kepala Staf Kepresiden Moeldoko dan Mensesneg Pratikno menyampaikan keterangan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Jokowi menyatakan mendukung sejumlah poin dalam draf revisi UU KPK. (Liputan6.com/HO/Kurniawan)

Jokowi mengaku setuju pembentukan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia juga setuju penyadapan yang dilakukan KPK harus seizin Dewan Pengawas.

Hal ini dikatakan Jokowi dalam konferensi pers menanggapi revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang diusulkan oleh DPR. Menurut dia, pembentukan Dewan Pengawas tersebut penting agar tak ada penyalahgunaan wewenang.

"KPK cukup memperoleh izin internal dari dewan pengawas untuk menjaga kerahasiaan," ujar Jokowi di Istana Negara Jakarta, Jumat (13/9/3019).

"Dewan pengawas, ini memang perlu, karena semua lembaga negara presiden, MA, DPR, bekerja dalam prinsip check and balances, saling mengawasi. Ini dibutuhkan untuk meminimalisasi penyalahgunaan wewenang," ucapnya.

Jokowi mengatakan dewan pengawas nantinya berasal dari unsur tokoh masyarakat, akademisi, atau pegiat antikorupsi. Dewan pengawas akan dipilih oleh Presiden melalui panitia seleksi.

"Pengangkatan oleh Presiden dan dijaring oleh panitia seleksi, saya ingin memastikan trasisi waktu yang baik agar KPk tetap menjalankan kewenangannya sebelum ada keberadaan Dewan Pengawas," jelasnya.

Kendati begitu, Jokowi menyatakan tak setuju jika KPK harus mendapatkan izin pihak luar ketika ingin melakukan penyadapan. KPK, kata dia, cukup mendapat izin dari Dewan Pengawas saja.

"Misalnya harus izin ke pengadilan, tidak," ucapnya.


Pegawai KPK Jadi ASN

Presiden Joko Widodo bersiap memberikan keterangan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Jokowi juga mendukung pembentukan Dewan Pengawas KPK dari unsur akademisi atau aktivis anti korupsi yang akan diangkat langsung oleh Presiden. (Liputan6.com/HO/Kurniawan)

Salah satu poin dalam draf revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang disetujui Presiden Joko Widodo atau Jokowi yaitu, tentang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurut dia, status ASN ini juga diterapkan oleh lembaga-lembaga negara lain.

Jokowi mencontohkan lembaga negara yang pegawainya berstatus ASN antara lain, Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan, penerapan status ASN ini juga dilakukan oleh lembaga independen seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Terkait pegawai KPK, pegawai KPK adalah aparatur sipil negara yaitu PNS atau P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Hal ini juga terjadi di lembaga-lembaga lain yang mandiri seperti MA, MK. Dan juga lembaga independen lain seperti KPU, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu)," kata Jokowi dalam konferensi pers di Istana Negara Jakarta, Jumat (13/9/2019).

Kendati begitu, Jokowi meminta agar masa transisi tersebut dilakukan dengan hati-hati. Dia juga mengatakan penyelidik dan penyidik KPK yang saat ini masih menjabat harus mengikuti proses transisi menjadi ASN.

"Saya menekankan agar implementasinya perlu masa transisi memadai dan dijalankan dengan penuh kehati-hatian," ucap Jokowi.


Dewan Pengawas Tak Diisi Politikus dan Birokrat

Presiden Joko Widodo didampingi Kepala Staf Kepresiden Moeldoko dan Mensesneg Pratikno usai menyampaikan keterangan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). (Liputan6.com/HO/Kurniawan)

Presiden Jokowi memastikan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak diisi oleh politikus ataupun orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu.

Menurut dia, Dewan Pengawas KPK nantinya berasal dari unsur akademisi hingga pegiat antikorupsi.

"Anggota Dewan Pengawas ini diambil dari tokoh masyarakat, akademisi atau pegiat antikorupsi. Bukan (diisi) politikus, bukan birokrat atau aparat penegak hukum aktif," ujar Jokowi di Istana Negara Jakarta, Jumat (13/9/2019).

Jokowi menjelaskan dewan pengawas KPK akan dipilih oleh Presiden. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu akan membentuk panitia seleksi untuk melakukan penjaringan.

"Saya ingin memastikan, tersedia waktu transisi yang memadai untuk menjamin KPK tetap menjalankan kewenangannya sebelum terbentuknya Dewan Pengawas," ujar Jokowi.

Jokowi menilai pembentukan Dewan Pengawas dibutuhkan untuk meminimalisasi potensi penyalahgunaan kewenangan. Bahkan, kata dia, seorang Presiden juga diawasi oleh DPR.

"Ini saya kan Presiden, Presiden kan diawasi. Diperiksa BPK dan diawasi oleh DPR. Jadi kalau ada Dewan Pengawas, saya kira itu sesuatu yang juga wajar. Dalam proses tata kelola yang baik," jelas Jokowi.


SP3 di KPK Beri Kepastian Hukum

Presiden Joko Widodo usai memberikan keterangan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Jokowi mendukung ijin penyadapan dari dewan pengawas internal KPK serta status pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara. (Liputan6.com/HO/Kurniawan)

Jokowi menyatakan setuju adanya penebitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jokowi mengatakan hal ini penting untuk memberikan kepastian hukum.

Hal ini dikatakan Jokowi dalam konferensi pers menanggapi revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang diusulkan oleh DPR.

"Keberadaan SP3, hal ini juga diperlukan sebab penegakan hukum harus menjadi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dan untuk memberikan kepastian hukum," kata Jokowi di Istana Negara Jakarta, Jumat (13/9/2019).

Kendati begitu, Jokowi mengusulkan SP3 dikeluarkan setelah kasus berjalan dua tahun. Menurut dia, hal ini jauh lebih lama dari usulan DPR dalam revisi UU KPK, yang hanya memberikan waktu satu tahun.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menambahkan, SP3 tersebut opsional. Nantinya, KPK boleh menggunakannya ataupun tidak.

"Kami minta 2 tahun supaya memberikan waktu memadai KPK, yang penting ada kewenangan KPK untuk memberikan SP3 yang bisa digunakan atapun tidak digunakan," jelas Jokowi.

 

(Desti Gusrina)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya