Liputan6.com, Washington D.C. - Hubungan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan miliarder George Soros agak sedikit menghangat. Miliarder pendukung Partai Demokrat itu memuji strategi keras Presiden Trump terhadap China, terutama Huawei.
Dalam sebuah tulis di Wall Street Journal, Soros berkata kebijakan luar negeri Trump terhadap China adalah pencapaian terbesar Presiden Trump dalam hal kebijakan luar negeri. Kebijakan Trump tersebut menciptakan perang dagang yang memancing kekesalan China.
Baca Juga
Advertisement
"Pencapaian terbesar, dan mungkin satu-satunya, pencapaian luar negeri administrasi Trump adalah kebijakan koheren dan bipartisan terhadap Xi Jinping dari China," ujar sang miliarder seperti dikutip Washington Examiner.
Soros pun meminta agar Trump dan tidak memberi keringanan pada Huawei. Saat ini, Trump masih membolehkan perusahaan AS untuk berbisnis dengan beberapa perusahaan yang terkait pemerintahan China.
Soros berpandangan jika perusahaan seperti Huawei diberi keringanan, maka perusahaan asal Shenzhen itu bisa makin mengancam posisi AS di pasar 5G. Ia pun meminta agar jangan sampai pencekalan Huawei menjadi bargaining chip saat negosiasi perang dagang.
Kekhawatiran Soros cukup beralasan mengingat situasi perang dagang sedang mereda. Trump menunda penerapan tarif sebesar 5% terhadap barang dari China senilai USD 250 miliar atas dasar iktikad baik menjelang negosiasi Oktober nanti.
George Soros menduga Trump berusaha membangun kesepakatan dengan Presiden Xi Jinping demi menunjang performa pasar saham AS dan kepentingan politik semata.
"Sulit mengetahui pasti apa yang memotivasi Mr. Trump, tetapi kelihatannya dia putus asa ingin membangun kesepakatan dengan Presiden Xi untuk memperkuat pasar saham AS dan ekonomi agar meningkatkan peluang di pemilu, (sehingga) mengutamakan kepentingan elektoral ketimbang kepentingan AS," ujar miliarder sepuh itu.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Ternyata, Ini yang Bikin Investor China Pilih Relokasi ke Vietnam Dibanding RI
Langkah Pemerintah Indonesia membuka diri terhadap penanaman modal asing di dalam negeri rupanya belum berbuah manis. Sebab, perusahaan asing lebih memilih berinvestasi ke negara lain seperti Vietnam yang menawarkan kemudahan regulasi dalam hal investasi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, salah satu faktor utama yang membuat Indonesia kurang menarik dan terputus dari rantai pasok global adalah karena sulitnya perizinan relokasi industri manufaktur.
"Vietnam sistem perizinan investasi lebih terintegrasi antara pusat dan daerah. Sementara Indonesia antara pemerintah pusat dan daerah belum klop. Contohnya soal OSS BKPM, dan di tingkat daerah masih terhambat izin wilayah," ujar dia kepada Liputan6.com, Sabtu, 7 Septembe 2019.
Hal lain yang menjadi sorotannya yakni seputar insentif fiskal, dimana Vietnam disebutnya memiliki kebijakan yang lebih spesifik terkait itu.
"Kalau di Indonesia pemerintah kasih banyak insentif seperti tax holiday, tax allowances, tapi belum tentu investor tertarik. Padahal tahun 2018 pemerintah keluarkan belanja pajak yang di dalamnya ada insentif sebesar Rp 221 triliun, setara 1,5 persen PDB," jelas dia.
"Ada juga kan investor di sektor tekstil misalnya, lebih memilih insentif diskon tarif listrik di jam sibuk atau keringanan bea masuk untuk pengadaan mesin baru. Jadi tidak semua butuh tax holiday," tegasnya.
Advertisement
Biaya Logistik
Faktor lainnya, ia melanjutkan, yakni soal biaya logistik di Indonesia yang masih mahal, berada pada kisaran 22-24 persen terhadap PDB. "Artinya seperempat biaya sebuah produk sudah habis untuk ongkir sendiri. Infrastruktur industri masih tertinggal, belum proses bea cukai yang lama," sambungnya.
Bhima juga menyinggung soal Sumber Daya Manusia (SDM) di sektor manufaktur. Menurutnya, sektor manufaktur memiliki banyak investasi yang potensial, khususnya di bidang tekstil, elektronik dan otomotif. Namun, itu tak sejalan dengan kualitas serta upah rendah yang diterima oleh SDM di bidang tersebut.
"Padahal upah bukan faktor utama perusahaan lakukan relokasi industri. Itu karena SDM kita kurang kompetitif, yang diajarkan di lembaga pendidikan enggak nyambung sama kebutuhan rantai pasok global. Itu PR yang perlu diperbaiki. Reformasi institusi pendidikan secara radikal yang diperlukan," tuturnya.