Liputan6.com, Jakarta - Siapa tak kenal Gombloh? Tokoh musik dengan lagu-lagunya yang nyentrik dan heroik. Salah satu karyanya yang mencuri banyak perhatian adalah “Di Radio (Kugadaikan Cintaku)”.
Pria dengan nama asli “Sudjarwoto Sumarsono”, lahir di Jombang, 12 Juli 1948. Walau begitu, kultur Surabaya yang “berangas” sudah melekat dalam diri Gombloh.
Gombloh melalui perjalanan yang panjang dalam menempuh karier-nya di dunia musik. Di sisi lain, Gombloh juga dikenal sebagai sosok yang sangat merakyat bagi orang sekitarnya.
Baca Juga
- Bule Cover Lagu Gombloh jadi Viral di Social Media
- Editor Says: Gombloh Tak Sekadar di Angan-angan
Mengenang Gombloh: Perkara Gitar Ketinggalan Saat Manggung (I)
Advertisement
Berikut ini adalah rangkuman kisah kehidupan Gombloh yang melansir dari Surabaya Punya Cerita Vol.1, karya Dhahana Adi:
Gombloh Kecil yang Cinta Musik
Gombloh sudah jatuh cinta dengan musik sejak umurnya yang masih terbilang kecil. Saat umurnya masih kurang dari enam tahun, Gombloh sudah bersemangat dalam mempelajari gitar.
Saat kecil, Gombloh sering berkunjung ke tetangganya yang pintar bermain gitar. Melihat kemahirannya yang berkembang cepat, tetangganya pun semakin senang untuk mengajar Gombloh.
Walau Gombloh tergila-gila pada dunia musik, Ia tetap tidak melupakan kewajiban sekolahnya. Bahkan dalam buku ini disampaikan, Gombloh tergolong murid yang cerdas.
“Cak Su tergolong murid yang cerdas, mampu menangkap pelajaran dengan mudah. Diterangkan satu kali saja, sudah hafal langsung di luar kepala,” ujar dr. Sudjari, adik Gombloh.
Setelah cukup mahir bermain musik, Gombloh tertarik untuk mengamen. Walau Ia adalah sang anak juragan ayam Embong Malang, Gambloh tetap tidak merasa malu untuk mengamen. Ia berkeliling menjual suaranya ke rumah-rumah, toko, warung hingga restoran.
Memang, di antara saudara-saudaranya, Gombloh adalah anak yang paling mbeling atau dengan kata lain susah diatur. Saat kecil, Ia sering pergi dari rumah dan membuat Ibu Gombloh kebingungan.
Di antara anak-anak di Kampung Emblong Malang, Gombloh kecil menjadi anak yang suka mengabaikan perintah untuk mengaji. Berbeda dengan enam saudara lainnya, Gombloh juga kerap mengabaikan ajakan untuk membantu usaha ayahnya, Pak Slamet, sebagai juragan ayam.
Meskipun mbeling, ternyata Gombloh memiliki perasaan yang sangat halus. Gombloh membenci anak-anak yang suka mengejek. Ia juga dikenal sebagai anak yang suka mengalah. Itulah mengapa Gombloh termasuk anak yang jarang berkelahi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Penghasilan Awal
Pada 1965, Gombloh semakin disibukkan dengan dunia musik. Ketika Ia duduk di bangku kelas 2 SMA Negeri 5 Surabaya, Gombloh banyak mendapat undangan bermain musik.
Ia diajak untuk bermain musik di berbagai acara seperti ulang tahun teman, acara keluarga, perpisahan hingga malam pentas seni sekolah. Populer walau dalam kalangan terbatas ini membuat Gombloh semakin tergila-gila dengan musik.
Berbagai undangan yang datang ke Gombloh memberi penghasilan untuk dompetnya. Namun sayang, uang itu membuat Gombloh tergelincir.
Bila sedikit lepas kontrol, uang penghasilan itu Gombloh gunakan untuk hal yang tak karuan. Ia mulai mengenal rokok, minuman dan kehidupan malam Surabaya. Gombloh juga jadi semakin sering begadang, kumpul di warung untuk minum-minum, hingga menghabiskan waktu untuk perempuan malam.
Inilah yang membuat fisik Gombloh menjadi lemah. Hingga akhirnya Gombloh diketahui mengidap penyakit paru-paru.
Setamatnya SMA, 1968, Gombloh diterima di ITS (Institut Teknologi 10 November) dengan jurusan Arsitektur. Namun, kecintaannya pada musik dan kelarutannya pada kehidupan malam membuat Gombloh tidak melanjutkan kuliah.
Kemudian Ia bergabung dengan satu geng bernama “Gegars Otack”. Memang, saat itu di Surabaya sedang musimnya geng. Positifnya, geng ini memilii radio amatir dan banyak dari anggotanya yang suka musik. Geng ini membuat wawasan musik Gombloh semakin berkembang.
Keluarga Gombloh sendiri tak pernah mengetahui apa yang Ia lakukan di luar rumah. Mereka seringkali hanya mendapatkan kabar tentang acara musik yang dimainkan oleh Gombloh. Ibunya selalu menyebar pesan pada teman-teman Gombloh dan meminta anaknya untuk cepat pulang.
Advertisement
Bengkel Muda Surabaya
Sekitar 1975-an, Bengkel Muda Surabaya (BMS) terbentuk. Di sinilah berkumpul anak-anak muda pecinta seni, baik itu seni musik, seni rupa, drama dan banyak lagi. Tentu saja, Gombloh termasuk di dalamnya.
BMS menjadi tempat bagi Gombloh untuk berkenalan dengan banyak orang seperti Leo Kristi, Naniel Khusnul Yakin, Mung dan masih banyak lagi. Ketiga orang itu menjadi sosok inspirasi Gombloh untuk masuk dunia rekaman. Melalui organisasi ini juga, musisi yang mengaku berangkat dari corak musik blues ini merasa kreativitasnya terpancing.
Akhirnya pada 1978, Gombloh berhasil meluncurkan album perdananya dengan nama “Naia dan Atmosfer”. Album perdananya ini tidak terlalu meledak di pasaran Namun, salah satu lagunya yang berlirik nyentrik “tai kucing rasa coklat”, sontak populer di masyarakat.
Selain rekaman, Gombloh juga masih aktif “mengamen” di Shinta dan Blue Sixteen. Uang yang diperoleh dari tak jarang dibagi-bagikan untuk teman-temannya. Sepulang “ngamen”, Ia selalu kembali ke BMS. BMS sudah menjadi rumah bagi Gombloh.
Kala itu, nama Gombloh memang belum saatnya menjulang Ia juga sempat terbesit ide untuk membuat opera musik berjudul “Damarwulan”, namun gagal dilaksanakan. Kegigihannya pun mulai goyah, dan Gombloh semakin sarat dengan kehidupan malam.
Berjiwa Sosial Tinggi
Sebenarnya, Gombloh tidak selalu memperlakukan perempuan malam itu layaknya “pembeli”. Seringkali Gombloh memperlakukan perempuan itu hanya sebatas menjadi teman ngobrol, bercerita, berbagi isi hati, bahkan dijadikan sumber inspirasi karyanya.
Jiwa merakyat pada perempuan malam atau sesamanya ini membuat jiwa sosial Gombloh lebih berperan. Gombloh pun dikenal sebagai sosok yang dermawan. Banyak temannya mengakui sosok Gombloh yang peduli akan sesama.
Banyak permasalahan dari WTS (Wanita Tuna Susila) yang Gombloh bantu untuk selesaikan. Berbagai kesulitan mulai dari keuangan hingga penyakit, Gombloh tak segan untuk carikan solusinya. Bahkan Gombloh sempat membayarkan perawatan penuh seorang WTS yang sedang mengidap penyakit.
Sys NS, salah satu kawannya di Radio Prambors memiliki kenangan tersendiri dengan Gombloh.
“Saya pernah melihat Mas Gombloh itu dengan becak membagi-bagikan BH (bra) kepada beberapa WTS. Ia memang profil orang yang aneh, tapi sangat manusiawi.”
Kepopuleran ini tidak mengubah gaya hidup Gombloh yang nyentrik. Tubuhnya tetap tidak terurus, suka begadang, dan seringkali mengunjungi daerah lampu merah.
Merokoknya yang juga semakin kuat, membuat fiisknya terus digerogoti. Tubuhnya yang kurus, dan keriput membuat penampilan Gombloh terlihat lebih tua dari usia sebenarnya.
Bersambung…
(Kezia Priscilla, mahasiswi UMN)
Advertisement