Jurus Akhiri Polemik RUU KPK ala Mahfud Md

Mahfud Md menilai perbaikan prosedur ini yang harus dijalani supaya polemik tidak berkepanjangan.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 16 Sep 2019, 08:00 WIB
Mahfud MD angkat bicara soal polemik RUU KPK. (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta - Pakar hukum dan tata negara Mahfud Md akhirnya angkat suara soal polemik RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menilai pimpinan KPK yang menyerahkan mandat ke presiden tidak pas. Sebab, secara hukum komisioner KPK bukanlah mandataris presiden.

"KPK bukan bawahan pemerintahan, meskipun ia berada di lingkaran eksekutif. Secara yuridis mengembalikan mandat bukan berarti KPK kosong," ujarnya di Yogyakarta, Minggu (15/9/2019).

Menurut Mahfud Md, polemik ini bisa diakhiri dengan duduk bersama dan berdiskusi. Secara bijak, Presiden perlu memanggil mereka untuk bertukar pendapat. Terlebih, semua orang sebenarnya ingin KPK menjadi lebih kuat. Diskusi dapat mempertemukan konsep yang diinginkan oleh Presiden dengan masyarakat sipil.

Ia mengungkapkan prosedur pembahasan RUU harus melewati dengar pendapat. Hal ini tercantum dalam Pasal 5 dan 96 UU Nomor 12 Tahun 2012 yang mengatakan setiap RUU harus dibahas dengan asas keterbukaan.

"Bagaimana menjalankan asas keterbukaan ya dengan public hearing mendengarkan pendapat masyarakat, kunjungan studi ke universitas. Jadi bukan tiba-tiba. Ini negara demokrasi. Menurut UU semua didengarkan," ucapnya.

Mahfud menilai perbaikan prosedur ini yang harus dijalani supaya polemik tidak berkepanjangan. Negara sebagai pengambil keputusan. Apabila terjadi perbedaan pendapat, rakyat harus tunduk dengan pembuat keputusan.

"Tetapi pembuat keputusan juga harus terbuka," tuturnya.

Terkait isi materi RUU KPK, Mahfud Md berpendapat sebagian besar sudah bagus. Ia menganggap wajar jika materi diperdebatkan, tetapi yang diutamakan adalah diskusi.

 


Jangan Bersikap Fatalis

Mahfud MD angkat bicara soal polemik RUU KPK. (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Mahfud juga tidak setuju jika ada masyarakat yang bersikap fatalis. Saat tidak sepakat dengan sebuah keputusan, maka memilih untuk mengabaikannya sama sekali.

Ia bercerita sempat mendapat pesan WhatsApp yang mengajaknya untuk bergabung dengan gerakan bubarkan KPK. Tidak hanya itu, pesan itu juga mengajaknya untuk mendorong UU yang melegalkan korupsi.

"Di pesan itu dia bilang korupsi boleh 20 persen dari nilai proyek, tetapi 65 persen untuk pajak, sebab itu yang terjadi sekarang. Ini contoh sikap fatalis," kata Mahfud.

Ia mengungkapkan ada sebuah dalil di Islam yang berbunyi jika tidak bisa diambil seluruhnya, jangan buang semuanya. Sebaliknya, ambil yang ada manfaatnya.

"Ini yang seharusnya dilakukan untuk menyikapi polemik KPK," ujarnya.

 


Jangan Underestimate

Mahfud MD angkat bicara soal polemik RUU KPK. (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Mahfud Md juga mengajak masyarakat untuk tidak underestimate terhadap calon pimpinan KPK. Ia mengingatkan, komisioner KPK yang saat ini pun sempat dipandang sebelah mata saat ditunjuk menjalankan tugasnya.

"Tetapi ternyata kerjanya bagus, setidaknya tidak mengecewakan," tuturnya.

Menurut Mahfud, yang menentukan kinerja bagus atau tidak adalah lingkungan. Terlebih yang berwenang sudah memilih mereka.

Mahfud mengaku secara personal tidak kenal secara dekat dengan para capim KPK. Namun, ia memiliki kesan positif ketika pertama kali tidak sengaja berjumpa dengan Firli Bahuri.

"Ketemu sekadar say hello. Cara bergaulnya baik, sopan. Saya tidak terlalu mengikuti dia di kasus yang lain," ucap Mahfud.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya