Liputan6.com, Yogyakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konsitutusi (MK) Mahfud Md mendukung, keberadaan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut dia, KPK memang harus diawasi karena terkadang komisioner KPK ada yang tidak tahu tentang adanya operasi tangkap tangan (OTT).
"Nah sekarang mungkin itu benar, itu bagus, mungkin itu efektif tetapi mungkin agar lebih bagus dan lebih bertanggung jawab kalau ada dewan pengawas," kata Mahfud seperti dilansir dari Antara, Minggu (15/9/2019).
Menurut dia, untuk menentukan siapa pengawas KPK perlu didiskusikan dengan matang dan tidak berburu-buru. Untuk menentukannya, perlu memanfaatkan waktu pembahasan RUU yang tersedia, yakni 60 hari dengan mendengarkan pendapat publik, serta studi ke berbagai kampus.
"Ini masalah pro-justitia, masak yang mengawasi bukan pro-justitia, tidak punya hak memeriksa perkara tiba-tiba melarang orang memproses perkara. Ini yang harus kita diskusikan," kata dia.
Baca Juga
Advertisement
Selain itu, Mahfud juga sependapat dengan penerapan kewenangan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk KPK. Hal itu mengacu adanya tersangka yang tak kunjung diputuskan kepastian status hukumnya oleh KPK, bahkan orang tersebut meninggal dunia.
"Masa orang (jadi) tersangka terus tanpa jelas nasibnya, sampai mati jadi tersangka, enggak boleh dicabut karena terlanjur ditetapkan tersangka lalu buktinya enggak ada," kata dia.
Berikutnya, mengenai pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN), yakni pegawai negeri sipil (PNS) atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). Mahfud menilai, hal itu tidak perlu buru-buru ditolak.
Menurut dia, pegawai-pegawai di Mahkamah Agung (MA) dan MK bukan hakim agung maupun hakim konstitusi, mereka seluruhnya berstatus ASN.
"Presiden kan mengatakan penyidik dan penyelidik itu tidak harus polisi dan tidak harus jaksa, kan bagus. Boleh orang independen tapi independen inipun harus ASN, artinya masuk ke proses kelembagaan. Kelembagaan masuk kan tidak apa-apa, tapi tetap independen," kata dia.