Liputan6.com, Riyadh - Harga minyak dunia mencapai level tertinggi dalam empat bulan, setelah dua serangan terhadap kilang Arab Saudi pada Sabtu 14 September 2019. Serangan itu mengganggu produksi lebih dari 5% pasokan global.
Pada awal perdagangan, minyak mentah Brent melonjak 19% menjadi US$ 71,95 per barel, sementara patokan utama lainnya, West Texas Intermediate, naik 15% menjadi US$ 63,34, demikian seperti dikutip dari BBC, Senin (16/9/2019).
Advertisement
Harga kembali turun sedikit setelah Presiden AS Donald Trump mengesahkan US Federal Reserve.
Sementara Menteri Energi Arab Saudi, Pangeran Abdulaziz bin Salman menjelaskan bahwa Riyadh akan memanfaatkan kilang cadangan besar untuk menutup celah kekurangan, sehingga ekspor dapat berlanjut seperti biasa minggu ini.
Namun, instabilitas harga diperkirakan akan terus terjadi hingga berminggu-minggu sebelum fasilitas Saudi kembali pulih sepenuhnya. Kendati demikian, Riyadh menjelaskan bahwa "situasi telah terkendali".
Arab Saudi adalah pengekspor minyak terbesar di dunia, mengirimkan lebih dari tujuh juta barel setiap harinya.
Simak video pilihan berikut:
AS dan Saudi Murka
Serangan drone terhadap dua kilang minyak Aramco di timur Arab Saudi memangkas produksi 5,7 juta barel per hari, kata Riyadh, mengingat keduanya merupakan salah satu dari fasilitas pemrosesan minyak bumi terbesar di dunia.
Kelompok gerilyawan Houthi dari Yaman mengklaim serangan itu.
Di sisi lain, Amerika Serikat menyalahkan Iran sebagai dalang sesungguhnya serangan akhir pekan lalu --menuduh Teheran sebagai pendukung utama Houthi Yaman. Namun, tidak ada bukti konklusif yang diberikan.
Baik Houthi dan Iran menolak tuduhan tersebut.
Presiden Donald Trump dan Putra Mahkota Saudi Pangeran Mohammed bin Salman, pada akhir pekan lalu, dilaporkan telah melakukan sambungan telepon berkenaan dengan peristiwa tersebut.
Saudi Press Agency (SPA), kantor berita pemerintah Saudi, melaporkan; Pangeran Salman mengatakan kepada Trump bahwa Riyadh "bisa dan mampu" melakukan balasan kepada pelaku penyerang kilang minyaknya.
Sementara Trump, melalui Tweet, mengatakan; AS telah "mengunci dan mengokang (lock and loaded)" pelaku, namun menambahkan bahwa keputusan terakhir ada di Saudi.
Yaman telah berperang sejak 2015, ketika Presiden Abdrabbuh Mansour Hadi terpaksa meninggalkan ibukota Sanaa usai digulingkan gerilyawan Houthi. Arab Saudi mendukung Presiden Hadi, dan telah memimpin koalisi negara-negara regional melawan pemberontak.
Perang di Yaman telah menciptakan apa yang disebut oleh PBB sebagai "krisis kemanusiaan terburuk di dunia saat ini", karena banyaknya warga sipil non-kombatan yang terdampak.
Advertisement