Liputan6.com, Banyuwangi Warga Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh Banyuwangi kembali menggelar tradisi adat Kebo-keboan pada Minggu (15/9/2019). Tradisi ini mampu menyedot ribuan pengunjung untuk menyaksikan keunikan pertunjukan petani yang beratraksi seperti kebo (kerbau-red).
Kebo-keboan Alasmalang digelar di sebuah areal pertanian di Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Singojuruh. Di tengah areal tersebut, terdapat satu petak sawah yang telah digenangi air. Petak sawah inilah yang menjadi "arena pertempuran" para kerbau yang dimainkan oleh petani.
Advertisement
Puluhan petani berdandan layaknya kerbau. Memakai tanduk buatan lengkapa dengan rambut surai, badan dilumuri jelaga hitam. Tak lupa, memakai gelang kerincing. Persis kerbau!
Tradisi ini adalah semacam bentuk ucapan syukur dari petani akan hasil panen yang berlimpah. Kerbau adalah simbolisasi kerjasama antara petani dan hewan bajak yang berperan membantu petani menyuburkan tanah.
Selain sebagai ungkapan rasa syukur, tradisi Kebo-Keboan Alasmalang juga dipercaya sebagai ritual tolak bala yang sudah dilakukan sejak 300 tahun lalu.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas saat membuka acara tersebut mengatakan tradisi kebo-keboan Alasmalang menjadi salah satu kearifan lokal yang menguatkan kebudayaan Banyuwangi.
“Kebo-keboan adalah satu dari sekian banyak tradisi agraris warga Banyuwangi. Tradisi ini sangat otentik Banyuwangi, tidak ditemukan di daerah lain di Indonesia, maka tak heran banyak wisatawan yang menunggu momen ini untuk bisa hadir menyaksikan,” kata Anas.
Anas menambahkan, tradisi yang dikemas dalam rangkaian agenda Banyuwangi Festival ini, bukan hanya untuk menghidupkan kebudayaan lokal, tapi juga pengungkit perekonomian warga.
"Beragam event yang diangkat dalam Banyuwangi Festival banyak yang berakar dari tradisi masyarakat desa. Terima kasih kepada warga desa yang terus aktif dan kreatif mengemas adat desanya menjadi sebuah atraksi yang mampu menarik wisatawan untuk hadir di Banyuwangi,. Desa pun kini bergeliat mengemas daetahnya menjadi jujugan wiaatawan," kata Anas.
Ritual yang dilakukan tiap bula Suro, penanggalan Jawa ini diawali dengan syukuran dan makan bersama di persimpangan jalan desa.
Selanjutnya, dipimpin seorang tokoh adat setempat, 30 manusia kerbau diarak mengelilingi empat penjuru desa dengan iringan musik khas Suku Using. Prosesi ini disebut Ider Bumi. Di sepanjang jalan, mereka berkubang, bergumul di lumpur, dan bergulung-gulung.
Ritual ini diakhiri dengan prosesi membajak sawah dan menabur benih padi oleh kerbau-kebauan di petak sawah yang telah disediakan. Dalam prosesnya benih padi yang nantinya ditabur oleh Dewi Sri ini akan banyak diperebutkan warga, karena diyakini bibitnya akan menghasilkan hasil panen yang lebih berlimpah.
(*)