Kadin: Revisi UU KPK Perlu Diawasi

Melli mengatakan, check and balance merupakan hal biasa dalam hukum tata negara. Yang terpenting, KPK tetap independen dalam penetapan tindakan.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Sep 2019, 15:31 WIB
Massa aksi dari Srikandi Cinta Tanah Air membagikan gantungan kunci di area CFD Bundaran HI sebagai bentuk dukungan terhadap revisi UU KPK . (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Proses revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadi polemik karena dinilai  melemahkan wewenang lembaga penegak hukum itu.

Menyikapi polemik itu, perwakilan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) memandang bahwa Revisi Undang-Undang KPK perlu dikawal agar poin-poin penting yang diperlukan dalam pengembangan KPK masuk dalam revisi tersebut.

"Yang namanya sebuah organisasi atau institusi pasti harus selalu berkembang mengikuti perubahan zaman. Jadi lebih baik kita kerahkan energi dan pikiran kita untuk mengawal proses RUU KPK agar memerhatikan poin-poin berikut, yaitu peningkatan kualitas SDM, nilai dan budaya institusi, tata kelola dan pengendalian, serta akuntabilitas dan transparansi”, kata Melli Darsa, Wakil Ketua Umum KADIN Bidang Hukum dan Regulasi.

Lebih lanjut, Melli mengatakan, check and balance merupakan hal biasa dalam hukum tata negara. yang terpenting, KPK tetap independen dalam penetapan tindakan, aksi, dan penilaian profesional terhadap tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi.

"Contoh, adanya Dewan Pengawas menurut saya tidak akan mengurangi independensi KPK. Yang penting anggota dari Dewan Pengawas itu dijaga profesionalitasnya,” jelas Melli.

Selain itu, Melli menilai revisi UU KPK perlu dilanjuti dengan merevisi UU Tipikor. Menurutnya, UU Tipikor terkait erat dengan doktrin-doktrin keuangan negara dalam arti luas di dalam UU Perbendaharaan Negara.

"Tanpa merevisi UU Tipikor menjadi seperti kita punya smartphone lebih bagus, tapi software-nya tidak update. Ini dikarenakan ,” menurut Melli.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Timbulkan Kerancuan Definisi

Wakil Ketua Umum KADIN Bidang Hukum dan Regulasi Melli Darsa. (Istimewa)

Salah satu contohnya adalah pasal di dalam UU Tipikor yang mengatur bahwa tindak pidana korupsi meliputi perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara.

Konsep ini dalam praktiknya masih diartikan terlalu kaku dan normatif, sehingga sebuah transaksi bisnis atau corporate action yang biasa dilakukan di dunia usaha dapat disalahartikan sebagai tindakan korupsi hanya karena masalah prosedural.

“Contoh lain, terkait dengan corporate action di BUMN yang sering kali dikaitkan dengan definisi potensi kerugian keuangan negara dari UU Perbendaharaan Negara. Padahal perlu kita ingat aset dan keuangan BUMN sudah dipisahkan dari APBN dan dalam bisnis yang namanya potensi rugi pasti ada. Tapi kan bukan berarti perusahaan ingin rugi atau sengaja merugi. Maunya pasti untung dengan strategi korporasi yang terukur dan mengelola dengan baik risiko yang ada”, kata Melli.

Lebih lanjut Melli mengatakan bahwa doktrin tersebut sering kali menimbulkan kerancuan definisi dan berpotensi menjadi pasal karet yang menimbulkan ketidakpastian hukum bagi dunia usaha.

Umpamanya BUMN melakukan transaksi derivatif atau Haircut Non-Performing Loan, itu kan biasa saja sebenarnya di dunia usaha dan tidak ada niat jahat di situ. Jadi jangan langsung di-cap BUMN tersebut melakukan korupsi. Kita harus ingat bahwa di dunia usaha yang namanya corporate action atau investasi itu return-nya tidak dalam jangka pendek”, tutup Melli.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya