Liputan6.com, Jakarta - Sudah dua pekan warga Singkawang, Kalimantan Barat merasakan kabut asap akibat kebakaran hutan di wilayah Bengkayang. Kondisi ini dirasakan semakin parah tiga hari belakangan.
"Saya bangun tidur pagi, mata saya langsung perih. Selain itu jika buka jendela, asap masuk ke rumah semua," ujar Frino Bariacianur Barus kepada Liputan6.com saat dihubungi dari Jakarta, Senin (16/9/2019).
Advertisement
Pria kelahiran 42 tahun lalu itu menuturkan, kabut asap terasa sangat tebal pada pagi hari. Kala siang dan sore menjelang, kabut asap mulai berkurang lantaran terhembus angin.
"Aktivitas warga di dalam rumah, sekolah diliburkan, tidak tahu sampai kapan sekolah mereka diliburkan. Warga juga pakai masker saat keluar," ujar dia.
Wilayah Kalimantan Barat saat ini dikepung titik api (hotspot). Dari pantauan situs https://fires.globalforestwatch.org/map/, titik api seluruh Indonesia dari 1 Agustus sampai 14 September 2019 mencapai 151.862 titik.
Titik api terbanyak tingkat provinsi berada di Kalimantan Tengah. Sedangkan tingkat Kabupaten, dirasakan masyarakat Ketapang, Kalimantan Barat.
Merespons kondisi ini, Menko Polhukam Wiranto mengungkapkan, pemerintah sudah melakukan semua upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Namun karena musim kering, perlu investarisasi terkait kekurangan di lapangan.
"BMKG menyampaikan kemarau masih kurang lebih satu atau dua bulan lagi, tentunya kita putuskan melengkapi kekurangan-kekurangan itu," ujar Wiranto kepada wartawan, Senin (16/9/2019).
Wiranto menegaskan, pemerintah bergerak cepat mengatasi masalah kebakaran hutan ini. Kondisi darurat tersebut akan ditangani secara sistematis dan dengan dukungan yang memadai. "Kalau tidak, tentu kita akan kedodoran," ujarnya.
Untuk menangani kebakaran ini, TNI dilibatkan dengan menerjunkan pesawat untuk hujan buatan. Ada sekitar 52 helikopter yang dikerahkan.
"Itu dari pemerintah, menyewa, dari para pemilik perkebunan besar. Semuanya sudah kita minta untuk berpartisipasi," ungkap Wiranto.
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menilai, kebakaran hutan ini tak lepas dari adanya fenomena El Nino. Hal itu diperparah dengan kebakaran di Australia yang arah anginnya dari Tenggara menuju Barat Laut.
"Nah sehingga udara kering dari Malaysia menambah potensi kebakaran ini. Karena di Indonesia betul-betul sedang kering, membuat bio massa atau hutan-hutan kita kondisinya cukup kering," ujar Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Ruandha Agung Sugardiman di Taman Mini, Jakarta, Senin (16/9/2019).
Untuk jumlah hotspot, KLHK mencatat Kaltim ada sekitar 80 hotspot. Kalteng 600-700 hotspot, Jambi lebih banyak jumlahnya sedangkan Riau mencapai 200-300 hotspot.
"Sekarang yang cukup besar kebakarannya itu di Riau, di Kalbar sudah mulai menurun, yang masih tinggi ini di Kalimantan Tengah. Oleh karena itu kita perlu waspada di sana," ujar Ruandha.
KLHK menilai kebakaran hutan terjadi akibat faktor manusia. Masih ada cara-cara pembukaan lahan korporasi yang menggunakan tenaga masyarakat. Dan ada pula yang dilakukan masyarakat, karena cara menanam mereka yang masih konvensional.
Pada bagian ini, pemerintah dan pemda akan membina masyarakat agar tidak membakar lahan saat ingin bercocok tanam. Misalnya jerami-jerami tidak dibakar namun diubah jadi kompos atau pupuk.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Efek 'Damai' dengan Investasi?
Sementara itu, Polri mengaku fokus dalam penegakan hukum terhadap mereka yang terbukti melakukan pembakaran lahan maupun hutan. Baik itu sengaja maupun tak sengaja.
"Ada penambahan tersangka, khususnya perorangan. Total diamankan ada 185 tersangka perorangan dan untuk korporasi 4 yang sudah ditetapkan tersangka," ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta, Senin (16/9/2019).
Dia menambahkan, kasus Karhutla yang sebagian masih proses sidik ada 95 kasus. Kemudian 41 kasus sudah dilimpahkan ke jaksa penuntut umum, dan dua kasus dinyatakan P21.
"Untuk tahap 2, penyerahan barang bukti dan tersangka ada 22 kasus," ungkap Dedi.
Namun hal berbeda disampaikan Direktur Eksekutif WALHI Riau, Riko Kurniawan. Dari catatan WALHI menunjukkan, penegakan hukum kasus Karhutla tahun ini turun drastis. Beda pada 2013-2014. Satu perkara bisa langsung dibawa ke pengadilan dalam jangka waktu sebulan.
"Di Riau, satu perusaahan yang jadi tersangka Polda. Berkasnya sampai sekarang tidak ada kejelasan. Bahkan kejadian 2016, ada perusahaan yang di SP3," ujar dia kepada Liputan6.com, Senin (16/9/2019).
Lebih jauh dia menilai, permasalahan kebakaran hutan dan asap di Sumatera dan Kalimantan merupakan imbas dari rusaknya lahan gambut. Sehingga saat awal terpilih, Jokowi memberikan perhatian khusus kepada lahan gambut ini.
"Presiden, waktu 2014 blusukan asap di Riau. Dia mengeluarkan kebijakan pemulihan dan perlindungan gambut dengan mengeluarkan moratorium maupun meneken PP 57 (tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut)," ujar Riko.
Namun celakanya, lanjut dia, rencana itu tidak berjalan efektif lantaran pemerintah cenderung berdamai dengan investasi. Prinsip-prinsip tentang lahan gambut tidak terpenuhi. Akibatnya, kebakaran itu masih terjadi.
"Ada izin di dalamnya, mengganggu investasi. Padahal dalam konteks gambut yang sederhana, gambut itu kan harus basah. Karena kering, makanya terjadi lagi kebakaran," ujar dia.
Riko juga menganggap, pemerintah tidak memahami persoalan mendasar tentang penanganan kebakaran hutan. Menurut dia, pemerintah seharusnya me-review dan mengaudit, serta mencabut izin konsesi yang melanggar aturan.
"Saat Jokowi blusukan di 2014 di desa, pemerintah mereview dan mengaudit serta mencabut izin salah satu konsesi yang diberikan masyarakat melalui hutan desa. Juga kerja pemulihan dilakukan sampai sekarang. Imbasnya tidak ada titik api di situ. Kenapa itu tidak dilanjutkan," ujar dia.
Karena itu, ia menduga pemerintah tidak memiliki data soal itu. Sebab jika data itu dikantongi, pemerintah akan me-review terkait pemberian izin kepemilikan lahan gambut. "Akan terpetakan wilayah yang rusak," ucap Riko.
Dia mengungkapkan, saat ini isu kebakaran hutan sudah masuk ranah nasional. Semua stakeholder hendaknya bergandengantangan sehingga ritme penangananya menjadi terarah.
"KLHK fokus mengaduit konsesinya. Penegak hukum ke penegakan hukum, Kemenkes dan Kementerian PPA dan Menko MPK merangkul agar bagaimana penyelamatan warga. Kan begitu," tambah Riko.
Dia menegaskan, perlu penanganan khusus dalam menyelesaikan kebakaran hutan ini. Pemerintah, harus menggalakkan agenda pemulihan lahan gambut di masa mendatang serta perbaikan tata lahan yang terus diperkuat.
"Kalau ada investasi, carilah yang ramah terhadap gambut dan tidak merusak fungsinya," ujar dia.
Hal yang tak kalah penting, lanjut Riko, soal keselamatan masyarakat saat kabut asap menyerang. Harus ada protokol yang dijalankan ketika kondisi darurat itu terjadi.
"Ada edukasi publik dari pemerintah untuk dijadikan muatan lokal, minimal menyelamatkan diri agar minimal terpapar asap di masa-masa mendatang," ucap dia.
Dia berharap, tahun ini menjadi tragedi kabut asap yang terakhir. Kejadian perih dari tahun ke tahun ini harus diambil hikmahnya agar masyarakat tidak jatuh ke lubang sama. Kejadian ini hanya dirasakan hewan yang bernama keledai.
"Kalau tidak, kita bisa jadi keledai mas," kata dia.
Advertisement
Kabar Bayi Meninggal
Kebakaran hutan di sebagian wilayah Sumatera dan Kalimatan menimbulkan dampak bagi kehidupan sosial. Hak anak-anak mendapatkan pendidikan di sekolah tercabut lantaran tempat belajar itu meliburkan kegiatannya.
"Pemkot Singkawang meliburkan siswa dari tanggal 16 sampai 18 September 2019, dan masuk kembali seperti biasa tanggal 19 September 2019," kata Wali Kota Singkawang Tjhai Chui Mie, Senin (16/9) dikutip dari Antara.
Selain dalam hal pendidikan, kabut asap juga membuat pengendara terjatuh di jalan karena jarak pandang yang terbatas akibat asap yang pekat. Bahkan dalam video viral, seorang wanita di Riau hampir jatuh pingsan dari sepeda motor.
Untuk korban jiwa dikabarkan, seorang bayi empat bulan meninggal dunia diduga akibat terpapar kabut asap. Bayi itu berasal dari Desa Talang Buluh, Kecamatan Talang Kelapa, Banyuasin.
Kepala Dinas Kesehatan Banyuasin, Masagus M Hakim membenarkan kabar itu. Dari hasil pemeriksaan medis, bayi tersebut didiagnosa pneumonia.
Kerabat bayi, Agus Darwanto menjelaskan, bayi itu mengalami sesak napas mendadak pada Sabtu 14 September 2019 malam. Lantaran kondisinya terus memburuk, langsung dibawa ke rumah sakit dan meninggal dunia.
Dikatakannya, dokter belum memastikan penyebab kematiannya. Diagnosa awal karena penyakit paru-paru dan bakteri. "Kata dokter penyebabnya bisa karena masalah di paru-paru dan bisa juga bakteri. Belum sempat dilakukan diagnosa lanjutan untuk memastikannya karena sudah meninggal," kata dia.
Tak hanya manusia, binatang pun menjadi korban dari keganasan kebakaran hutan. Warganet di Instagram dihebohkan penampakan foto dan video viral ular berukuran raksasa mirip anaconda atau sanca dengan panjang belasan meter mati terpanggang.
Dalam foto tersebut, ular sepanjang belasan meter dengan besar sebatang pohon mati terpanggang dengan latar sisa-sisa kebakaran hutan.
Ironisanya bangkai ular ditali dengan rafia pada bagian kepala.
Sementara video penampakan ular mati juga dibagikan oleh akun Yuni Rusmini yang kemudian diposting @makassar_iinfo.
"Kebakaran lahan yg berakibat asap di wilayah kalteng terutama kotim sungguh memprihatinkan, berbahaya bg kesehatan warga, hingga habitat hewannya pun ikut jadi korban," demikian narasi yang tertera di sana.