Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran naik 35 persen. Hal ini pun telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kebijakan kenaikan cukai dilakukan untuk menekan konsumsi rokok yang selama ini terus meningkat. Dia tidak memungkiri akan ada penambahan penerimaan negara dengan adanya kebijakan ini.
"Kalau untuk rokok kan lain, kita kalau melihat itu tujuan pemberian cukainya untuk mengurangi dan mengkontrol konsumsi. Jadi memang tujuannya ya untuk begitu," ujarnya saat ditemui di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (17/9).
Baca Juga
Advertisement
Sri Mulyani melanjutkan, selain mempertimbangkan konsumsi dan penerimaan negara, pemerintah juga fokus pada sektor produksi. Sektor produksi yang dimaksud adalah petani dan pengusaha pabrik rokok.
"Oleh karena itu, aspek dari kesehatan, penerimaan negara maupun dari sektor produksinya terutama kelompok petani dan pengusaha kecilnya kita tetap harmoniskan dalam kebijakan cukai itu," jelasnya.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menambahkan, pemerintah selalu berhati-hati dalam pengambilan setiap kebijakan. Segala keputusan yang diambil melalui pertimbangan yang sangat matang dan seimbang.
"Tentu kita terus berhati-hati ya dalam melakukan berbagai macam keputusan. Dan semua keputusan yang kita lakukan memang memiliki dimensi yang sangat kaya. Dan oleh karena itu mencari keseimbangan di antara semua itu menjadi sangat penting," tandasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Menkeu: Kenaikan Cukai Demi Petani dan Buruh Rokok
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan nasib petani menjadi salah satu pertimbangan pemerintah untuk menaikan cukai rokok. Cukai rokok naik 23 persen dan harga jual rokok eceran naik 35 persen pada 2020.
"Kita perhatikan ada unsur elemen petani, dan juga petani terutama tembakau dan cengkeh versus adanya impor cengkeh tersebut," kata dia saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (16/9).
Selain dimensi kemiskinan petani, nasib buruh rokok juga menjadi hal yang tidak kalah pentingnya dalam pemutusan kebijakan tersebut. "Adanya unsur tenaga kerja terutama cigarette kretek tangan. Jadi kami mencoba untuk mencari keseimbangan diantara berbagai concern tadi," ujarnya.
Namun, alasan utama kenaikan cukai rokok adalah aspek kesehatan. Mantan pejabat bank dunia tersebut menyebutkan jumlah perokok dari kalangan anak muda dan perempuan mengalami peningkatan terus menerus. Terlebih rokok ternyata banyak dikonsumsi oleh masyarakat miskin. Dengan naiknya harga rokok, diharapkan jumlah perokok akan menurun.
"Di sisi lain menjaga harus mencegah rokok ilegal agar tetap gak meningkat. Maka keputusan yang disampaikan di dalam ratas, melihat berbagai aspek itu menaikkan cukai 23 persen untuk 2020 yang semenjak 2018 ga naik," tutupnya.
Advertisement
Kenaikan Cukai Rokok Bakal Sumbang Inflasi
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menyatakan, rencana kenaikan cukai rokok akan memberikan pengaruh pada peningkatan inflasi. Meski demikian, pengaruh kenaikan inflasi akibat cukai rokok tidak akan terlalu besar.
"Ada (pengaruhnya ke inflasi) tapi mudah-mudahan enggak besar," ujar Suhariyanto saat ditemui di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Senin (16/9).
Pada dasarnya rokok memang memberikan andil inflasi dari sisi kelompok administered price atau harga yang diatur pemerintah. Setiap bulan, rokok berkontribusi sebesar 0,01 persen daro rokok filter dan kretek.
"Setiap bulan kan ada kenaikan, tapi tipis ya kontribusinya," kata dia.
BPS belum bisa memperkirakan dampak menyeluruh dari kenaikan tarif cukai dan harga jual eceran rokok tersebut. Menurutnya, perlu melihat lebih lanjut terkait penerapan dari kenaikan cukai rokok pada tahun yang akan datang.
"Belum tahu dampaknya seberapa jauh, kami harus melakukan exercise dulu. Mudah-mudahan tidak terlalu besar," katanya.