Laode Syarif Beberkan Pelemahan Penindakan dalam UU KPK yang Baru

Laode mengaku menerima isi UU KPK yang baru disahkan DPR dari sosok yang disebut hamba Allah.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 17 Sep 2019, 17:20 WIB
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif memberikan keterangan terkait OTT Ketum PPP Romahurmuziy, di gedung KPK, Sabtu (16/3). KPK mengamankan uang total Rp 156 juta dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Surabaya pada Jumat (15/3). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif menyesalkan pengesahan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi undang-undang oleh DPR. Menurutnya, UU KPK yang baru saja disahkan itu akan melemahkan penindakan.

"Jika dokumen yang kami terima via ‘hamba Allah’, banyak sekali norma-norma pasal yang melemahkan penindakan di KPK," ujar Laode saat dikonfirmasi, Selasa (17/9/2019).

Laode mengaku belum mengetahui secara resmi isi UU KPK yang baru. Laode menyebut pihaknya hanya menerima isi UU KPK dari hamba Allah lantaran KPK tidak ikut dalam pembahasan serta belum dikirimi draf UU tersebut secara resmi oleh DPR maupun Pemerintah.

Berdasarkan dokumen yang dia sebut dari hamba Allah, Laode membeberkan poin-poin yang akan melemahkan KPK. Pertama yakni soal Komisioner KPK bukan lagi sebagai penyidik dan penuntut umum.

"Komisioner KPK bukan lagi sebagai penyidik dan penuntut umum. Penyadapan, penggeledahan, penyitaan harus izin dewan pengawas," katanya.

"Dewan Pengawas diangkat oleh Presiden. Komisioner bukan lagi pimpinan tertinggi di KPK. Status kepegawaian KPK berubah drastis dan harus melebur menjadi ASN," Laode menambahkan.

Menurut Laode, poin-poin tersebut berpotensi besar menggangu independensi KPK dalam mengusut suatu kasus.

"Masih banyak lagi detil-detil lain yang sedang kami teliti dan semuanya jelas akan memperlemah penindakan KPK," kata Laode.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


DPR Sahkan Revisi UU KPK

Wakil Ketua DPR selaku Pimpinan Sidang Fahri Hamzah mengetuk palu dalam sidang paripurna ke-9 Masa Persidangan I 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (17/9/2019). Rapat Paripurna DPR menyetujui Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. (Liputan6.com/Johan Tallo)

DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK menjadi undang-undang dalam sidang paripurna yang digelar, Selasa (17/9/2019).

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah selaku pimpinan sidang mengetuk palu pengesahan setelah anggota dewan menyatakan setuju. Tiga kali Fahri menegaskan persetujuan terhadap revisi UU KPK menjadi undang-undang.

"Apakah pembicaraan tingkat dua pengambilan keputusan terhadap rancangan UU tentang perubahan kedua atas UU 30/2002 tentang KPK, dapat disetujui dan disahkan menjadi UU?" ujar Fahri dalam sidang paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa.

"Setuju," jawab anggota dewan serentak.

Laporan terhadap hasil keputusan tingkat pertama dibacakan oleh Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas. Supratman menyebutkan enam poin revisi yang telah dibahas dan disetujui bersama.

Pertama, kedudukan KPK sebagai lembaga hukum berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam kewenangan dan tugas bersifat independen dan bebas dari kekuasaan.

Kedua, pembentukan dewan pengawas untuk mengawasi kewenangan dan tugas KPK agar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dewan pengawas telah disepakati mayoritas fraksi dan pemerintah ditunjuk oleh presiden.

Ketiga, revisi terhadap kewenangan penyadapan oleh KPK di mana komisi meminta izin kepada dewan pengawas. Berikutnya, mekanisme penggeledahan dan penyitaan yang juga harus seizin dewan pengawas.

Kelima, mekanisme penghentian dan atau penuntutan kasus Tipikor. Terakhir terkait sistem pegawai KPK di mana pegawai menjadi ASN.

Dalam pengambilan keputusan tingkat pertama, tujuh fraksi; PDIP, Golkar, PPP, Nasdem, PAN, PKB, dan Hanura menerima revisi tanpa catatan.

Sementara Dua fraksi yakni Gerindra dan PKS menerima dengan catatan tidak setuju berkaitan pemilihan dewan pengawas yang dipilih tanpa uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Terakhir, Demokrat belum memberikan sikap karena menunggu konsultasi pimpinan fraksi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya