Alasan di Balik Orang Menilai Kematian Adalah Sesuatu yang Tak Berujung

Ada beberapa orang yang menganggap bahwa kematian adalah sesuatu yang tak berujung, mengapa?

oleh Afra Augesti diperbarui 17 Sep 2019, 19:40 WIB
Ilustrasi seseorang sedang menjalani proses kematian. (Sumber Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Bagi sebagian orang, kematian adalah peristiwa yang mengerikan. Namun, ada pula yang mengaku dirinya siap menghadapi kehidupan setelah kematian karena berbagai macam keyakinan dan alasan spiritual di baliknya.

Orang-orang yang sering merasa terasing, terisolasi dan disalahpahami, lebih mungkin kerap memikirkan kematian, menurut penelitian baru yang dikutip dari Live Science, Selasa (17/9/2019).

Namun, belum diketahui apakah perasaan keterasingan itu adalah penyebab dari munculnya pikiran negatif, meskipun ada beberapa bukti yang membenarkannya.

"Ini adalah pemahaman yang benar-benar dimiliki oleh beberapa orang, dan beberapa orang terus memikirkannya setiap saat," kata Peter Helm, seorang mahasiswa pascasarjana di bidang psikologi sosial di University of Arizona.

Riset baru tersebut dilakukan dengan dasar bidang manajemen perasaan takut, yang menyatakan bahwa manusia sesungguhnya membentuk penghalang di antara diri mereka dan kesadaran akan kematian.

Studi yang mendukung teori itu menemukan, orang yang mengingat kematian menjadi pribadi yang lebih dekat dengan nilai-nilai atau budaya di lingkungan tempat tinggal mereka. Hal ini mungkin merupakan cara terbaik untuk menemukan makna dalam menghadapi kematian mereka sendiri.

Helm dan rekan-rekannya tertarik untuk mengeksplorasi bagaimana pengalaman tertentu, yaitu isolasi eksistensial, dapat menyatu dengan pemikiran soal kematian dan mortalitas (kodrat bahwa setiap manusia akhirnya pasti meninggal).

Isolasi eksistensial terkait dengan kesepian, tetapi ini bukan itu poin utamanya, kata Helm. Kesepian yang dimaksud di sini adalah perasaan kurangnya kontak dengan orang lain. Sedangkan isolasi eksistensial adalah perasaan bahwa orang lain pada dasarnya tidak mengerti Anda.

Bersosialisasi ketika kita merasa terisolasi secara eksistensial sebenarnya dapat memperburuk masalah, ungkap Helm. Ia dan tim penelitinya melakukan empat studi untuk menentukan apakah isolasi eksistensial berhubungan dengan pemikiran kematian atau tidak sama sekali.


Permainan Kata

Ilustrasi mati lampu (Unsplash.com)

Pertama, para ilmuwan meminta para mahasiswa relawan (932 orang yang berada dalam masa studi pertama dan 613 orang dalam masa studi kedua) untuk mengisi kuesioner agar bisa ditentukan tingkat awal isolasi eksistensial, kesepian dan kekuatan perasaan identitas mereka terhadap kelompok yang lebih besar daripada mereka.

Para peserta juga mengisi tugas untuk menyelesaikan sebuah kata yang rumpang, di mana mereka menerima daftar potongan huruf yang dapat dirangkai menjadi kata-kata yang berhubungan atau tidak berhubungan dengan kematian, tergantung pada pilihan orang tersebut.

Misalnya, COFF_ _ bisa ditulis coffee (kopi) atau coffin (peti mati). KI_ _ED bisa jadi kissed (dicium) atau killed (dibunuh).

Dalam studi ini, orang-orang yang merasa sering terisolasi secara eksistensial cenderung menciptakan kata-kata yang berhubungan dengan kematian.

Hal tersebut menunjukkan bahwa pikiran kematian lebih dekat dengan pikiran orang-orang yang terisolasi itu. Kaitan antara isolasi eksistensial dan pemikiran kematian tidak dapat dijelaskan oleh kesepian, kekuatan perasaan seseorang sebagai bagian dari suatu kelompok atau harga diri, kata Helm.

Sebaliknya, kesepian --yang juga terkait dengan pemikiran kematian-- akan kehilangan hubungannya dengan kematian, begitu efek identitas kelompok, harga diri dan isolasi eksistensial menjadi faktor utama.


Berhubungan dengan Depresi?

Ilustrasi depresi (iStockphoto/AntonioGuillem)

Selanjutnya, para peneliti menguji untuk mencari tahu: "Apakah isolasi eksistensial benar-benar menyebabkan pikiran kematian meluap-meluap di benak seseorang?"

Para ilmuwan mengumpulkan 277 peserta dan membaginya menjadi tiga kelompok. Satu kelompok menulis tentang ingatan perasaan terisolasi secara ekslusif, satu menulis tentang perasaan kesepian, dan satu menulis tentang pengalaman mereka (yang netral) ketika menunggu sesuatu.

Dalam riset itu, mereka yang menulis tentang isolasi eksistensial lebih cenderung untuk menuliskan kata-kata yang berkorelasi dengan kematian.

Namun, dalam studi lanjutan yang melibatkan 334 peserta, tugas menulis tentang isolasi eksistensial gagal mendapatkan hasil yang sama.

Partisipan studi kedua sebagian terdiri dari orang-orang yang terlibat secara daring, misalnya, yang mungkin lebih sanggup untuk menghibur diri mereka sendiri dibandingkan dengan orang-orang yang berpartisipasi langsung di laboratorium psikologi. 

Para peneliti juga mempelajari bagaimana perasaan isolasi eksistensial mungkin punya relasi dengan depresi dan pikiran untuk bunuh diri, menurut Helm.

Psikolog telah mempelajari rasa kesepian selama beberapa dekade dan menemukan bahwa emosi ini terkait dengan kesehatan mental dan fisik yang buruk.

Akan tetapi, isolasi eksistensial belum mendapat perhatian yang hampir sama dengan rasa kesepian penyebab bunuh diri, meskipun ini sudah menjadi pengalaman umum.

Studi baru ini akan diterbitkan pada Oktober nanti di Journal of Research in Personality

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya