Pandangan Ekonom Indef Soal Revisi UU KPK

Enny mengatakan dari keseluruhan naskah yang ditujukan DPR juga tidak memenuhi unsur akademis.

oleh Liputan6.com diperbarui 18 Sep 2019, 17:20 WIB
Presiden Joko Widodo usai memberikan keterangan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Jokowi menyatakan mendukung sejumlah poin dalam draf revisi UU KPK diantaranya kewenangan menerbitkan SP3. (Liputan6.com/HO/Kurniawan)

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati mengkritisi langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang telah mengesahkan revisi Undang-undang nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang-Undang (UU). Menurutnya, DPR terlalu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan yang dianggap tidak terlalu mendesak.

Enny mengatakan dari keseluruhan naskah yang ditujukan DPR juga tidak memenuhi unsur akademis. Sehingga tidak ada alasan DPR untuk mengesahkan revisi UU KPK.

"Saya berkali kali baca naskah revisi UU KPK ini yang jumlah halaman sekitar 64 halaman. Dari 64 halaman yang disampaikan oleh DPR hampir keseluruhanya, secara pertimbangan yang dilakukan adalah normatif," kata dia dalam sebuah diskusi digelar di Cikini, Jakarta, Rabu (18/9/2019).

Bahkan dirinya pun berani untuk melakukan uji secara materil di Makamah Konstitusi (MK) untuk melihat sejauh mana urgensi atau nilai akademis di dalam draf UU KPK tersebut.

"Langkah kita memikirkan untuk uji materil di MK. Kalau saya melihat naskah akademis ini saja tidak ada jawab urgensi mengapa UU ini harus direvisi," kata dia.

Di samping itu, dirinya juga mempertanyakan beberapa poin yang telah ditetapkan menjadi UU KPK baru. Menurut dia, dari keseluruhan poin di dalam UU KPK yang baru tersebut tidak tepat dan dianggap akan melemahkan kinerja KPK ke depan.

"Ketika muncul 7, kenapa ketika penyadapan harus ada izin dan badan pengawas itu harus ada di naskah akademis. Apa yang selama ini menjadi persoalan? Di naskah akademis dari inisiatif DPR mengubah UU KPK tidak ada yang bisa menjawab dari 7 itu kenapa KPK menjadi lembaga pemerintahan, kenapa minta izin penyadapan, kenapa KPK harus berasal dari 3 institusi," bebernya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Ketuk Palu

Menkumham Yasonna Laoly membacakan pandangan pemerintah terhadap revisi UU KPK dalam sidang paripurna ke-9 Masa Persidangan I 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (17/9/2019). Rapat Paripurna DPR menyetujui Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, DPR telah mengesahkan revisi Undang-undang nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi undang-undang dalam sidang paripurna, Selasa (17/9).

Pimpinan sidang, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengetuk palu pengesahan setelah anggota dewan menyatakan setuju. Tiga kali Fahri menegaskan persetujuan terhadap revisi UU KPK menjadi undang-undang.

"Apakah pembicaraan tingkat dua pengambilan keputusan terhadap rancangan UU tentang perubahan kedua atas UU 30/2002 tentang KPK, dapat disetujui dan disahkan menjadi UU?" ujar Fahri dalam sidang paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (17/9).

"Setuju," jawab anggota dewan serentak.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya