Liputan6.com, Jakarta - Momok wadah makanan berbahan styrofoam selama ini dikenal masyarakat dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan. Berbahan dasar polistirena, zat tersebut sering dikatakan dapat menyebabkan kanker, kerusakan ginjal tiroid dan kerusakan saraf. Informasi yang mengatakan bahwa styrofoam menyebabkan penumpukan sampah juga menjadi ketakutan bagi masyarakat Indonesia.
Melihat hal tersebut, beberapa perusahaan ingin menangkal informasi yang sudah beredar sejak tiga tahun belakangan. Perusahaan Trinseo Indonesia, Kemasan Group dan Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) membuat sebuah program daur ulang bertajuk "Yok Yok Ayok Daur Ulang!". Program ini menargetkan 100 pengusaha makanan mikro untuk turut berpartisipasi.
Alasannya, pengusaha makanan membutuhkan tempat kemasan makanan yang tidak membahayakan konsumen, namun tetap murah. Harga styrofoam saat ini kurang lebih berkisar di Rp 300,- per buah, jauh lebih murah dibandingkan dengan wadah dari plastik mika dan kertas yang harganya di atas Rp1.000,-.
Tapi, karena maraknya informasi salah yang beredar membuat pengusaha makanan enggan memakai styrofoam hingga mengorbankan keuntungan yang bisa didapat.
Baca Juga
Advertisement
Peluncuran program ini dilaksanakan melalui seminar dengan tema Memilih Kemasan Makanan yang Dapat Didaur Ulang, Berkelanjutan dan Ekonomis - Mengungkap Kebenaran di Balik Styrofoam pada Rabu (18/9/2019) di Ayana MidPlaza Hotel, Jakarta Pusat. Tujuannya adalah memberikan pemahaman kepada para pengusaha makanan Indonesia agar bijak memilih kemasan makanan, dengan melihat dari sisi kemampuan daur ulang, dampak bagi lingkungan dan tetap menguntungkan.
Trinseo, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang plastik, lateks dan karet sintetis menyatakan bahwa bahan polistirena yang mereka produksi 100 persen dapat didaur ulang. Karenanya, mereka bekerja sama dengan Kemasan Group, sebuah perusahaan yang memproduksi kemasanan makanan styrofoam dan diferensiasi produk turunan lainnya untuk mendaur ulang sampah yang dihasilkan dari Trinseo.
"Sebagai produsen, kami bertanggung jawab untuk mengolah sampah dari setiap hasil produksi kami. Oleh karena itu, setiap sampah kemasan makanan yang kembali kepada kami, akan diolah menjadi bahan untuk barang berguna lainnya seperti gantungan baju, pigura, boneka dan lainnya," kata Wahyudi Sulistya, Direktur Kemasan Group.
Proses daur ulang zat polysterene foam ini akan dilakukan melalui empat tahap, yakni pengumpulan styrofoam, penghancuran menjadi bagian kecil, pengolahan untuk menjadi zat polistirena, kemudian diproses dengan mesin injection molding yang bisa mencetak gantungan baju, bingkai foto, kotak CD, dan lain-lain.
Guna memudahkan pengumpulan kemasan polistirena busa yang tersebar di seluruh Indonesia, ADUPI juga diajak untuk merangkul bank sampah yang ada dibeberapa daerah. Saat ini, ADUPI telah memiliki tujuh titik komisariat pimpinan daerah (KDP) yakni di Jabodetabek, Jawa Barat, Joglo, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan Sorong.
Sistemnya, ADUPI akan mengumpulkan sampah dari bank sampah, kemudian dikumpulkan untuk digiling. Setelah itu, baru akan diproses untuk dijadikan barang baru lainnya. Pihak ADUPI mengatakan, dengan kerja sama dengan Kemasan Group memudahkan mereka untuk melakukan pengepulan karena akan terdapat mesin yang dapat memadatkan sampah tersebut.
"Jaringan kami sudah cukup berhasil mengurangi sampah botol plastik, dengan mengumpulkan dan mengolahnya menjadi barang baru, kini saatnya kami berkontribusi lebih bagi lingkungan Indonesia dengan mengumpulkan sampah kemasan makanan polistirena busa," ungkap Christine Halim, ketua ADUPI.
Agar masyarakat dapat lebih turut berpartisipasi, mereka akan memberikan imbalan uang kepada para pemulung atau bank sampah yang turut berkontribusi. Bagi masyarakat yang tidak terjangkau oleh ADUPI, juga dapat langsung mengirimkannya ke beberapa titik yang ada di Balikpapan, Makassar, Karawang dan Bali yang dapat dilihat alamat lengkapnya melalui laman resmi Trinseo.
Tentang styrofoam sebagai penyebab menumpuknya sampah, Hanggara Sukandar, Presiden Direktur PT Trinseo Materials Indonesia mengatakan bahwa kehadiran sampah adalah salah masyarakat yang tidak mengolahnya dengan baik. Bukan salah dari styrofoam, sehingga menurutnya tidak relevan jika mengatakan sampah styrofoam sebagai penyebab banjir dan masalah lingkungan lainnya.
"Kami mengajak semua pihak agar bersama-sama mewujudkan program daur ulang yang nantinya diharapkan dapat mengurangi timbunan sampah yang selama ini tidak dimanfaatkan," ujar Hanggara.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pelurusan Berbagai Isu yang Salah
Seminar kali ini juga mengundang beberapa pakar untuk menjelaskan fakta mengenai isu yang beredar di masyarakat. Selain isu lingkungan, fakta mengenai dampak kesehatan yang disebabkan oleh penggunaan wadah styrofoam ini juga dijabarkan.
Ternyata, isu yang menyatakan residu dari polistirena ini dapat menyebabkan kanker, tiroid dan gangguan saraf adalah salah. Tidak ada faktor penyebab semua penyakit tersebut di dalam bahan styrofoam.
Hal ini diungkapkan langsung oleh salah satu pembicara pada seminar, Akhmad Zainal Abidin selaku Kepala Laboratorium Teknologi Polimer dan Membran Institut Teknologi Bandung (ITB). Akhmad mengatakan bahwa zat polistirena dihasilkan melalui proses polimerisasi monomer stirena.
Ternyata, sejumlah makanan seperti telur, stroberi dan kayu manis secara alami sudah mengandung stirena tersebut. Kandungan ini tidak membahayakan tubuh asal tidak melebihi 0,5 persen dari berat tubuh atau jika dirata-rata, tubuh manusia bisa menerima asupan stirena sebanyak 90.000 mikrogram per hari.
Sedangkan dari data yang didapatkan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan Amerika Serikat, paparan monomer stirena per orang dari sebuah wadah styrofoam adalah 6,6 mikrogram. Hasil ini menunjukkan paparan ini masih berada jauh di bawah batas aman.
Akhmad juga menyatakan bahwa anggapan styrofoam tidak dapat terurai sudah tidak relevan jika melihat perkembangan teknologi kini. Manusia tidak bisa lagi hanya mengharapkan mikroorganisme untuk melakukan penguraian, tapi bisa dilakukan melalui proses kimia atau thermal.
"Sekarang di dunia sains modern, menghancurkan bahan itu tidak hanya dengan mikroorganisme. Bisa dengan temperatur yang tinggi, bisa dengan kimia, dan itu tidak membutuhkan waktu hari, minggu atau tahun. Ukuran detik itu sudah bisa berubah menjadi produk-produk lain," ujar Akhmad.
Menurutnya, argumentasi sebuah barang membutuhkan waktu ratusan tahun adalah sebuah pola pikir yang bisa diubah masyarakat. Terlebih, polusi udara yang disebabkan oleh cara thermal atau kimia ini juga masih sesuai dalam regulasi pemerintah yang ada sehingga tidak membuat masalah baru.
"Ada standar industri yang menyangkut safety dan juga kesehatan lingkungan. Jadi itu semua sudah well protected, tidak ada leaking untuk membahayakan lingkungan. Standar aman sekali," tutur Akhmad kepada Liputan6.com.
Advertisement
Dilarang di Beberapa Negara
Isu yang mengatakan bahwa pada polistirena busa mengandung BPA juga ditangkal. Ahkmad mengatakan bahwa BPA digunakan untuk membuat plastik kuat seperti botol minum atau produk bayi. Bisa juga digunakan dalam logam kaleng makanan agar mencegah kaleng berkarat. Pembuatan styrofoam busa tidak membutuhkan BPA sehingga tidak berbahaya.
Penggunaan kemasan makanan sebenarnya sudah diatur dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Undang-undang tersebut menegaskan produsen pangan kemasan wajib menggunakan bahan kemasan yang tidak membahayakan kesehatan manusia.
Pengawasan akan hal ini juga sudah dilakukan oleh pihak BPOM. Sutanti Siti Namtini, Direktur Standardisasi Pangan Olahan BPOM Indonesia mengatakan bahwa belum ada negara yang melarang penggunaan styrofoam atas dasar pertimbangan kesehatan atau pencemaran lingkungan.
"Tahun 2009, BPOM telah melakukan penelitian independen untuk 17 kemasan berbahan polistirena. Dalam 17 kemasan yang diuji, ditemukan residu dalam angka yang sangat aman, yakni 10-443 ppm (part per milion). Angka ini jauh di bawah level berbahaya, dimana batas aman adalah 1.000 ppm sesuai dengan kebijakan yang dibuat BPOM di 2018," kata Sutanti.
Meski dikatakan belum ada negara yang melarang penggunaan Styrofoam, namun sejumlah sumber menyatakan sebaliknya. Dilansir dari CNN pada 2018, Dominika, sebuah negara di Kepulauan Karibia telah mengumumkan sepenuhnya melarang penggunaan plastik dan cangkir-cangkir serta wadah makanan styrofoam sekali pakai yang efektif diberlakukan pada Januari 2019.
Mereka menilai sampah styrofoam dapat bertahan sampai 500 tahun atau bahkan tidak dapat terurai sama sekali, sehingga mampu mengancam kelestarian lingkungan. Bahaya styrofoam terhadap lingkungan membuat sejumlah negara memutuskan untuk melarang penggunaan material ini, salah satunya Taiwan.
Selain Taiwan, beberapa kota di AS juga turut mengeluarkan larangan pemakaian kemasan styrofoam, seperti New York, Seattle, Portland, hingga Washington, DC. Baru-baru ini, bertambah lagi negara yang segera melarang pemakaian styrofoam, yakni Kosta Rika, seperti yang Liputan6.com lansir dari La Gaceta, pada Juni 2019.
Selain itu, cangkir minum kopi maupun minuman lainnya dari bahan Styrofoam dianggap berbahaya. Cangkir dari styrofoam terbuat dari bahan yang disebut polystyrene.
Namun dilansir dari laman The Health Site, 13 Juli 2017, polystyrene dapat menyebabkan iritasi dan keluarnya lendir dari mata dan hidung. Selain itu, polystyrene dapat meningkatkan rasa kelelahan, kemampuan konsentrasi berkurang, dan mengganggu fungsi hormon.
Cangkir berbahan styrofoam juga tidak ramah lingkungan. Selain butuh waktu sekitar 500 tahun untuk terurai, proses pembuatan styrofoam bisa mengakibatkan polusi udara. Agar lebih aman, gunakan mug atau cangkir kopi yang dapat digunakan berulang-ulang, seperti bahan stainless steel atau aluminium.
(Novi Thedora)