Liputan6.com, Jakarta - Keinginan Indonesia memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) produk bangsa sendiri segera terwujud setelah penantian panjang lebih dari setengah abad. Namun rencana pengesahan revisi KUHP atau RKUHP menuai polemik.
Sejumlah elemen masyarakat menolak RKUHP disahkan. Mereka beralasan, banyak pasal dalam RKUHP yang dianggap bermasalah, salah satunya mengancam demokrasi dan kebebasan berekspresi.
Advertisement
Meski begitu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap akan mengesahkan RKUHP dalam waktu dekat ini. Apalagi DPR dan pemerintah telah merampungkan pembahasan revisi pengganti KUHP peninggalan kolonial itu.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, pengesahan RKUHP seharusnya tidak melulu dimaknai sebagai upaya dekolonialisasi hukum pidana Indonesia dari peninggalan Belanda.
"Tetapi (seharusnya) juga sebagai bagian dari demokratisasi hukum pidana, konsolidasi dari beberapa ketentuan di luar KUHP, serta adaptasi dan harmonisasi bagi perkembangan peradaban, khususnya yang berdimensi negatif sebagai tindak pidana baru," ujar Fickar kepada Liputan6.com, Rabu (18/9/2019).
Dia menambahkan, RKUHP juga tidak boleh mendegradasi tindak pidana yang bersifat khusus dan extraordinary crimes menjadi tindak pidana umum, sehingga tidak memerlukan lagi cara penanganan yang luar biasa. "Pada gilirannya dapat menghapuskan peran KPK," ujar Fickar menoontohkan.
Fickar membeberkan sejumlah pasal dalam RKUHP yang dianggap bermasalah dan menjadi pasal karet. Antara lain, pasal 167 tentang makar, pasal 440-449 tentang pengaturan tindak pidana penghinaan, pasal 218-220 tentang penghinaan presiden dan wakil presiden, pasal 240-241 soal penghinaan pemerintah yang sah, dan pasal 353-354 soal penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara.
"Pasal ini memuat rumusan karet yang berpotensi mengekang kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan pers. Pasal-pasal ini selain tak relevan untuk masyarakat demokratis, juga karena sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)," tutur Fickar.
Menurut Fickar, beberapa pasal bermasalah memuat rumusan karet karena tafsirnya bisa tergantung penguasa atau penegak hukum yang diintervensi kekuasaan.
Lebih lanjut, Fickar menilai DPR arogan jika tetap bersikeras mengesahkan RKUHP di tengah gelombang penolakan dan banyaknya pasal bermasalah. Menurutnya, DPR belum maksimal menyerap aspirasi masyarakat dalam membuat undang-undang.
"Itu sikap arogansi seorang politikus, dia tidak menyadari bahwa eksistensi dia sebagai wakil rakyat yang mewakili dan mempunyai kewajiban menyerap aspirasi masyarakatnya," katanya.
Senada dengan Fickar, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudi mengatakan, pasal-pasal tentang penghinaan pada RKUHP berpotensi membungkam kebebasan pers. Selain itu, penanganannya akan tumpang tindih dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Yang terkait itu (penghinaan) sangat berpotensi menjerat jurnalis karena sangat multitafsir dan karet, karena bisa jadi (penyelesaiannya) tidak lagi dengan sengketa pers tapi langsung pidana," ucap Ade kepada Liputan6.com, Rabu.
Ketua Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Erick Tanjung mengatakan, pihaknya bersama sejumlah elemen yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah dan DPR menunda pengesahan RKUHP.
"Karena banyak pasal yang menyesatkan dan mengancam kebebasan pers dan mengancam demokrasi di masyarakat," ujar Erick kepada Liputan6.com.
Berdasarkan catatan AJI Jakarta, setidaknya terdapat 10 pasal yang berpotensi mengancam jurnalis dalam menjalankan tugasnya, antara lain pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden dan wapres, pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah, pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa, pasal 262 tentang penyiaran berita bohong, pasal 263 tentang berita tidak pasti, pasal 281 tentang gangguan peradilan, pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama, pasal 354 tentang penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara, pasal 440 tentang pencemaran namabaik, dan terakhir pasal 446 tentang pencemaran orang mati.
Erick menilai, RKUHP tersebut dapat mengkriminalisasi jurnalis. Sebab, draf RKUHP yang disusun pemerintah dan DPR tidak menempatkan pers di pilar keempat demokrasi.
Dia juga menyoroti kemunduran dalam pembahasan RKUHP karena menghidupkan lagi pasal yang telah dibatalkan MK, yakni penghinaan terhadap presiden. "Nanti kita tak bisa lagi mengkritik pemerintah dan masyarakat tak punya wakil lagi untuk menyuarakan lewat media," katanya.
Baik LBH Pers maupun AJI sama-sama telah melakukan berbagai upaya agar RKUHP tersebut ditunda. Namun jika DPR tetap bersikeras mengesahkannya melalui rapat paripurna pada 25 September 2019 nanti, LBH Pers dan AJI akan menempuh jalur konstitusi melalui judicial review atau uji materi di MK.
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Muncul Pasal yang Pernah Dibatalkan MK
DPR akan mengesahkan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada 25 September 2019 mendatang. Beberapa pasal dalam RKUHP masih menjadi sorotan, salah satunya pasal penghinaan terhadap presiden.
Pasal ini pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006. Namun pada RKUHP kali ini, pasal itu dimunculkan lagi.
Berdasarkan draf RKUHP yang diterima pada tanggal 28 Agustus 2019, setidaknya ada tiga pasal yang mengatur soal penghinaan terhadap harkat dan kehormatan presiden di RKUHP, di antaranya pasal 218, 219, 220.
Pasal 218 ayat 1 berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
Sedangkan ayat 2 berbunyi, "Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."
Pasal 219 berbunyi, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
Namun pada pasal selanjutnya diatur bahwa Pasal 218 dan Pasal 219 berlaku jika ada aduan. Aduan itu juga harus dilakukan oleh pihak yang dirugikan yakni presiden atau wakil presiden atau diwakili kuasa hukum masing-masing.
Pasal 220 ayat 1 berbunyi, "Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan." Sedangkan ayat 2 berbunyi, "Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilaksanakan oleh kuasa presiden atau wakil Presiden."
Sementara itu, anggota Komisi III yang juga anggota panitia kerja (Panja) RKUHP Teuku Taufiqulhadi menegaskan, pihaknya selalu mementingkan aspek hak asasi manusia (HAM) dalam penyusunan RKUHP. Karena itu pasal penghinaan presiden kembali dimunculkan.
"Panja juga mempertimbangkan perkembangan HAM sekarang ini, tetapi telah saya katakan tadi, bahwa persoalan tersebut itulah bukan semuanya kemudian kita harus kejar, karena kenapa belum tentu kalau kita mengejar itu sesuai dengan bangsa kita, ini harus paham betul ini," kata Taufiqulhadi di Jakarta, Rabu (4/9/2019).
Taufiqulhadi juga menegaskan pasal ini tidak akan mengganggu kebebasan berpendapat. Sebab, delik pasal tersebut adalah aduan.
"Pasal penghinaan kepada Presiden, harus ingat, orang mengatakan kok masih ada pasal ini padahal sudah dibatalkan oleh MK, ini adalah berbeda, berbeda sama sekali, karena kenapa, ini adalah pasal dan deliknya adalah delik aduan, jadi harus ada yang melaporkan," ucapnya.
Advertisement
Penantian Setengah Abad
Penantian akan lahirnya KUHP yang benar-benar hasil karya bangsa sendiri sudah berlangsung lama. Gagasan untuk melahirkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Nasional yang segera disahkan lahir lebih setengah abad silam, yakni saat berlangsung Seminar Hukum Nasional I di Semarang.
Dalam seminar yang berlangsung pada 1963 tersebut muncul berbagai masukan untuk KUHP asli Indonesia. Antara lain, perlunya perluasan delik-delik kejahatan keamanan negara, ekonomi, juga kesusilaan.
Gagasan ini lahir karena selain KUHP yang ada merupakan produk pemerintahan kolonial yang sejumlah pasalnya tak bisa dilepaskan untuk kepentingan pemerintahan jajahan, juga lantaran perlu ada aturan dan rumusan baru bagi sejumlah delik pidana.
Sumber KUHP sendiri adalah hukum Belanda, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku di Hindia Belanda sejak 1 Januari 1918.
Pemerintah kemudian merespons hasil seminar dengan membentuk sebuah tim perumus. Setahun kemudian terbentuk tim perumus RKUHP yang diketuai pakar hukum Universitas Diponegoro Prof Soedarto. Tim beranggotakan sejumlah pakar hukum terkemuka Indonesia.
Mereka antara lain Prof Roeslan Saleh, Prof Moeljanto, Prof Satochid Kartanegara, Prof Oemar Seno Adji, dan J.E. Sahetapy.
Beberapa tahun kemudian anggota tim ditambah, antara lain dengan melibatkan Prof Mardjono Reksodiputro, Karlinah Soebroto, Andi Hamzah, Muladi, Barda Nawawi, dan Bagir Manan. Soedarto memimpin tim hingga ia wafat pada 1986 dan kemudian digantikan Roeslan Saleh.
Tim perumus RKUHP sepakat tidak membuat KUHP sama sekali dari nol. Tim melakukan rekodifikasi KUHP Hindia Belanda, menghilangkan Buku III dan membuat penjelasan setiap pasal. Soedarto juga meminta pandangan dua pakar hukum Belanda untuk memberi masukan RKUHP. Keduanya, yaitu Prof D Schaffmeister dan Prof N Keijzer dari Universitas Leiden.
Pada 1986 penyusunan Buku I yang berisi asas-asas dan penjelasan pasal-pasal selesai yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan Buku II, yakni dengan memasukkan pasal yang dinilai tim masih relevan ke dalam buku II, yang mengatur tindak pidana berikut ancaman pidananya.
Saat Menteri Ismail Saleh menjadi Menteri Kehakiman ia meminta tim untuk segera menyelesaikan penyusunan RKUHP ini. Ismail dan Sunarjati Hartono -Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)- terus mengawal penyusunan RKUHP tersebut.
Akhirnya pada 1993 Ketua Tim, saat itu dipegang Mardjono Reksodiputro menyerahkan naskah lengkap RKUHP kepada Ismail Saleh di kantornya. Mardjono menjadi ketua tim sejak 1987 hingga 1993.
Ketika Ismail lengser dan digantikan Oetojo Oesman, peraktis tidak ada kemajuan dalam pembuatan RKUHP itu. Bisa disebut, hampir selama lima tahun RKUHP ini hanya tersimpan di Kementerian Kehakiman. RKUHP kemudian baru mengalami kemajuan lagi ketika Muladi menjadi Menteri Kehakiman.
Muladi sempat mengajukan RKUHP ini ke Sekretariat Negara. RKUHP ini juga pernah diberikan ke DPR. Baru pada 2013 DPR secara intensif melakukan pembahasan RKUHP. Benny K Harman dari Fraksi Demokrat memimpin Panitia Kerja pembahasan RKHUP.
Pada 5 Juni 2015 Presiden Joko Widodo mengeluarkan Surat Presiden berisi kesiapan pemerintah dalam membahas RKUHP. DPR dan pemerintah sepakat merampungkan pembahasan itu dalam tempo dua tahun yaitu sampai akhir 2017 yang akhirnya terlewati.
Kini, bisa dipastikan bahwa RKUHP yang terdiri sekitar 780 pasal itu akan disahkan pada 2018. Jika disahkan nanti, maka berarti inilah rancangan undang-undang yang terbilang paling lama pembuatannya dalam sejarah bangsa ini. Jika dihitung dari Seminar Hukum Nasional I di Semarang, memakan waktu sekitar 55 tahun.