Liputan6.com, Jakarta - Direktur Keuangan PT BNI (Persero) Tbk Ario Bimo mengaku optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan akan tetap di kisaran 5 persen. Itu membantah perkiraan Bank Dunia yang berkata ekonomi Indonesia akan turun menjadi 4,9 persen di tahun 2020.
Saat ini, ekonomi dunia memang sedang mengalami perlambatan seperti yang terjadi pada China dan negara-negara ASEAN, tetapi Bimo menyebut perlambatan ekonomi global harus dihadapi dengan optimisme. Sebab, negara berkembang bisa menuai keuntungan.
"Kalau misalkan ekonomi global itu turun, itu bukan berarti developing market sama emerging market itu jelek, karena kita bisa memanfaatkan itu," ujar Bimo pada Rabu (18/9/2019) di Jakarta.
Baca Juga
Advertisement
Lebih lanjut, Bimo berkata tidak menjadikan Bank Dunia sebagai referensi tunggal. BNI pun memantau dari sumber lain seperti Asian Development Bank, selain itu kepala ekonom BNI juga percaya ekonomi tahun depan masih stabil.
"Kemarin saya juga di-brief sama chief economist, kita masih melihat pertumbuhan ekonomi tahun depan masih antara 5,1 dan 5,3 persen," ungkap Bimo yang baru saja diangkat sebagai direktur keuangan.
Pada pertemuan dengan Bursa Efek Indonesia beberapa tahun lalu, Ario berkata BNI menyampaikan hal serupa mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 5 persen.
Ario pun berkata memantau pergerakan IHSG yang masih di atas 6.000. Sementara, salah satu sektor yang menunjang ekonomi tahun depan adalah infrastruktur.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bank Dunia: Ekonomi RI Bisa di Bawah 5 Persen
Bank Dunia melaporkan kepada Presiden Joko Widodo bahwa berbagai masalah geopolitik bisa memberi dampak negatif pada ekonomi Indonesia. Reformasi bisnis pun dibutuhkan menghadapi situasi ini.
Menurut presentasi Bank Dunia bertajuk Global Economic Risks and Implications for Indonesia, ekonomi Indonesia disebut bisa turun hingga 4,9 persen pada 2020. Angka itu juga cukup jauh dari target pertumbuhan pemerintah yakni 5,3 persen.
BACA JUGA
Hal yang mengancam perekonomian adalah memanasnya perang dagang, bertambahnya adu tarif, dan menjalarnya perang dagang ke sektor teknologi (Huawei). Perang dagang pun bisa berubah menjadi perang mata uang antara dolar dan yuan.
Bank Dunia menyebut perang dagang juga ditemani beberapa peristiwa geopolitik lain yang bisa menambah risiko ekonomi. Di antaranya Brexit, Pemilu AS di 2020, ketegangan dagang Jepang-Korsel, protes Hong Kong, sanksi Iran, konflik bayangan dengan Israel, restukturisasi utang Argentina dan krisis Kashmir.
Sementara, Indonesia juga terancam lemahnya produktivitas dan pertumbuhan tenaga kerja dalam negeri. Lantas apa solusi Bank Dunia?
Bank Dunia menyarankan agar Indonesia menjadi negeri yang lebih ramah investasi. Perlambatan perizinan juga dipandang sebagai alasan kenapa pabrik dari China ogah pindah ke Indonesia.
"Memindahkan pabrik dari China ke Indonesia memiliki risiko yang rumit, dan butuh waktu setidaknya setahun bahkan lebih, sementara proses di di Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Taiwan lebih jelas dan singkat," jelas Bank Dunia.
Advertisement